Ada
dua hal yang membuatku tak mengerti tentang sejarah cinta manusia. Bagaimana
awal mula kita mengenal cinta? dan kapan akhir cinta mengenal kita?
Mengamati
akhir cinta, sepertinya tidak mungkin. Analoginya kita masih dipertengahan
jalan, dan tak mungkin melihat apa yang ada diujung tujuan. Sedang tak ada
orang yang pernah menunjukkan bagaimana akhir cinta itu ada. Karena nampaknya,
akhir cinta selalu bersama dengan akhir kehidupan. Makanya, masalah akhir cinta
itu seperti apa, jangan dulu kita pikirkan.
Tapi
untuk masalah melihat awal mula mengenal cinta, kita tinggal membuka lagi
cerita masa kecil. Barangkali beberapa dari cerita masa kecil itu, ada proses
awal cinta masuk dihidup kita.
Semenjak
aku tau bahwa tingkat tertinggi manusia menggunakan memorinya, ada pada masa
kecil. Niat untuk mengais kembali kenangan-kenangan pertama itu, langsung
tumbuh. Dan memang benar, ingatan masa kecil masih sangat rapi tersimpan dalam
rak memory buku kisah kecil kita.
Ketika
kau mencoba membuka lagi ingatan-ingatan usang itu. Kau akan menemukan banyak
hal-hal pertama dalam hidup.
Aku
masih ingat pertama kali menanangkap capung lalu menanamnya, dan berfikir
besoknya akan berubah menjadi uang (entah siapa yang mengajarkan kesesatan
ini), pertama kali aku kehilangan sepeda waktu nonton balapan motor, pertama
kali aku tenggelam dan meminum banyak air waktu berlibur di danau biru. Sampai
pertama kali aku berdiam diri dekat pos gerbang sekolah lalu menemui radar
seorang gadis, yang membuatku menghabiskan waktu berlama-lama untuk tersenyum
sendiri saat memandanginya.
Semua hal-hal pertama itu masih teringat jelas.
Tapi
sebelum aku bertemu dengan gadis manis itu, aku belum tau apa-apa tentang
ketertarikan dengan wanita. Karena ketidak tahuanku tentang apapun masalah
ketertarikan itu, makanya aku selalu bingung dengan tingkah aneh kedua kakak
cewekku. Aku sungguh tak paham melihat kakak tertuaku yang suka tertawa sendiri
dibalik handponenya, dengan posisi tengkurap bantal dibawah dagu, dan sesekali
bergelinjang berputar-putar diatas kasur. Aku juga sungguh tak mengerti melihat
kakak keduaku yang selalu menghabiskan waktu tersenyum-senyum sendiri, sambil
menuliskan cerita diatas buku bergemboknya yang ia sebut diare, eh diary.
Itu
semua apa?
Ada
apa dengan mereka? Setahuku hal yang bisa membuat seseorang tersenyum dan
tertawa hanyalah cerita-cerita lucu, lawakan ditelivisi, mendengar kisah abu
nawas, menonton doraemon, diberi hadiah mainan, bermain hujan, dan melihat
teman terjatuh yang mendarat ditai ayam. Selebihnya? Apa lagi yang bisa membuat
seseorang tersenyum tertawa bahagia selain semua itu?
Aku
selalu bertanya tentang keanehan tingkah laku mereka. Tapi sama kakak-kakakku
itu, dijawabnya selalu sama “ini urusan orang gede, anak kecil jangan ikut
campur”.
Aku
selalu penasaran tentang apa yang ia rasakan, dan mengapa mereka tak ingin
menceritakan?
Belakangan
ini aku baru tau, bahwa memang ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, yang
mungkin karena terlalu abstrak untuk digambarkan. Bukan karena tak ada
penjelasan dari perasaan itu. Tapi ada beberapa hal yang tidak rasional, yang
tak bisa dimengerti oleh orang-orang yang belum mengalaminya, dan
menjelaskannya hanya membuang-buang waktu saja. Kayak diminta untuk menjelaskan
rasa manis pada gula itu seperti apa? Sulit menggambarkannya karena tak ada
bahasa yang pas untuk memaknai semua itu. Makanya hanya perlu dirasakan
sendiri.
Nah,
sekarang aku ingat awal mula mengenal perasaan suka dengan wanita. Iya,
perasaan suka. Menyebut itu cinta terlalu dini.
Yasudah,
ambil salah satu ingatan yang ada diatas.
“pertama
kali tenggelam dan meminum banyak air waktu berlibur di danau biru” bukan yang
ini.
“pertama
kali kehilangan sepeda waktu nonton balapan motor” bukan ini jugaaaa-__-.
“Pertama
kali berdiam diri dekat pos gerbang sekolah. Lalu menemui radar seorang wanita,
yang membuatku menghabiskan waktu untuk tersenyum sendiri saat memandanginya”
nah ini dia.
Yah.
Anggap saja aku suka melakukan hal-hal aneh kalau sedang sendiri.
Disuatu
pagi, aku duduk sendiri dekat pos gerbang sekolah. Terdiam, melamun, dan sambil
memfokuskan mata kepada semua orang yang lewat. Kayak sedang berimajinasi jadi
detektife rahasia, untuk menemukan alien yang menyamar jadi manusia. Sekali
lagi, anggap saja itu sikap anehku.
Hingga
ada seorang cewek yang membuatku menatapnya lebih lama dibanding manusia
lainnya. Bukan, bukan karena aku mencurigainya sebagai alien. Tapi seperti aku
menemukan radar yang berbeda dari aura cewek yang satu ini.
Aku
terus menatapnya. Mulai dari ia turun dari motor vespa ayahnya, sampai ia
berjalan masuk ke gerbang sekolah.
Temanku
Karan, tiba-tiba datang menghampiri, dan mengagetkanku.
Sambil
menepuk pundakku,
“Woii,
ada tragedi apa pagi-pagi gini udah cengar-cengir kayak orang sakit?”
Temanku
karan ini, adalah satu-satunya teman yang tidak menganggapku aneh. Teman yang
selalu merespon setiap hayalan-hayalanku. Mungkin karena dia juga sama anehnya.
Aku
terkaget sambil memarahinya,
“aissshh
ngagetin aja nih siketek ayam”.
Sambil
ia duduk disampingku
“itu
sayap ayam, bukan ketek. Ahh, dasar hidung gajah”
Aku
melihatnya sinis
“itu
belalai gajah, bukan hidung”.
“ Eh
ran, aku sedang menemukan belahan jiwaku ran” Lanjutku.
“ahh
yang mana?, tau darimana?”
tanya
karan penasaran.
Sambil
aku menunjuk cewek itu,
“lihat..
Hari ini aku pake baju yang sama dengannya. Padahal aku belum kenal dia. Ini
benar-benar takdir jodohku ran”
Karan
lalu memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Menatapku lama, dan tajam “lihat
aku pake baju apa, lihat teman-teman yang lain pake baju apa?. Kita semua pake
baju yang sama begoo. Kita kan anak sekolah”
Aku
tak menggubris karan. Aku kembali menatap cewek itu yang sudah beranjak jauh
saja.
Lagi-lagi
karan mengagetkanku
“gilaa
kau So, Itu Mimi?”
“ahh,
kau tau darimana?” aku serius menanggapinya.
Dengan
santai ia bilang
“ahh,
kau saja yang baru tau. Tiga ratus dua puluh lima lelaki disekolah ini yang
melihat cewek itu, juga menganggap cewek itu takdir jodoh mereka coy”.
Selama
kelas pagi berlangsung, aku terus memikirkan cewek itu. Oh iya, namanya Mimi,
dia salah satu cewek tercantik disekolah kami, MIN (Madrasah Ibtidayah Negeri)
Lasusua. Dia kelas 3A, sedang aku, dan Karan kelas 3B. Orangnya seperti
Cinderella yang ada difilm-film. Bersih, tinggi, imut, dan satu lagi, ketawanya
bikin lupa rumah sob. Kata karan, dia juga orangnya kaya. Tapi waktu itu, aku
tak pernah ada kualifikasi sama sekali untuk menyukai seseorang dari materi
atau apapun itu. Aku tak pernah memikirkan seberapa jauh berbeda aku dengan
dia. Yang aku tau lagi-lagi, aku menyukainya karena dia adalah alasan kenapa
akhir-akhir ini aku aku akrab dengan bapak penjaga gerbang, dan alasan kenapa
aku selalu datang pagi-pagi kesekolah, hanya untuk menantinya.
Suatu
saat, aku memutuskan untuk menulis surat untuknya. Ini adalah hal yang paling
jelas dimemoriku. Pertama kali aku menyusun kalimat indah dikertas putih, yang
aku ingin menganggapnya sebagai karya puisi pertamaku. Padahal aku selalu dihukum Ibu Nurti, guru bahasa Indonesiaku,
karena tak menghapal tugas membaca puisi-puisi dari Khairil Anwar.
Tapi
setelah itu, aku bingung sendiri mau memberikan surat ini lewat perantara
siapa. Berjam-jam dalam kelas aku menghabiskan waktu menghayali gadis perenggut
tidur pagiku itu.
Kukantongi
surat cintaku yang hanya berupa lipatan kertas putih, lalu aku meminta izin pada
Ibu Guru untuk ke toilet buang air ketuban. Dari depan kelas, aku berjalan
sambil menghitung langkah. Iya, anggap saja aku aneh (lagi), atau kurang
kerjaan.. Tapi memang aku suka melakukan hal-hal seperti itu diwaku kecil.
Menghitung langkah demi langkah saat berjalan.
“Dua
satu, dua dua, dua tiga..” aku berjalan menuju kamar mandi sekolah. Entah
tujuanku apa. Tapi aku suka mendapat ide kalau sedang dalam kamar mandi. Jadi
kupikir, pergi ketempat itu mungkin bisa memecahkan masalahku ini.
“dua
lima, dua enam, dua tujuh..” sambil menghitung langkah, pandanganku saat
berjalan hanya melihat kebawah. Ditikungan kamar mandi, tepatnya dihitungan ke
“dua puluh delapan” aku menabrak seseorang. Dan taukah kau, aku menabrak siapa?
Seseorang dibalik alasan izinku keluar kelas. Seseorang yang membuatku tak
mengharapkan hari libur sekolah. Benar sekali, ia adalah Mimi, wanita kedua
yang membuatku tertunduk setelah ibu.
Ketika
aku menabraknya. Aku kaget stengah mati. Aku langsung tertunduk, setelah
beberapa saat memandanginya dengan penuh keheranan. Iya, aku memang terlalu
cemen untuk memberanikan diri melihat matanya.
Tapi
saat aku bertabrakan dengannya, aku berharap dia membawa buku, atau semacamnya.
Jadi, ketika bukunya jatuh, aku bisa membantunya memunguti. Lalu tangan kami
akan bertemu disatu buku yang sama. Kemudian kami saling bertatapan. Akhirnya
sama-sama jatuh cinta. Kamipun menikah. Punya anak. Dan hidup bahagia. Tapi
nyatanya, drama hidup tak seasik drama sinetron. Dia tak membawa apa-apa.
“Eh,
maaf” Katanya, lalu buru-buru masuk kamar mandi. Aku baru ingat ada surat yang
harus kukasih kedia. Apa yang harus kulakukan dengan situasi seperti ini?,
mendobrak pintu kamar mandinya lalu memberikan surat ini?, menyisipkan bom
kebawah pintu kamar mandinya, lalu ia terpental keluar, kemudian memberikannya
surat ini?, atau melemparkan tali karet lewat lobang atas pintu toilet,
kemudian teriak ada ular, lalu ia menjerit keluar dan memberikannya surat ini?,
atau…?
Ahh,
aku melihat seseorang yang baru saja tiba dihadapanku sesaat setelah Mimi
buru-buru masuk ketoilet. Ternyata seseorang itu adalah teman Mimi. Lalu aku
memberi surat itu kepada teman Mimi. Namanya Fia, ia memperkenalkan diri
langsung ketika aku memberinya surat. Tapi ketika ia bertanya balik tentang namaku,
aku langsung beranjak pergi jauh. Berlari kayak orang yang lagi dikejar angsa
berkepala panjang (saking malunya).
Sejak
pertama kali aku melihat Mimi di gerbang sekolah,
aku
jadi sedikit mengerti tentang alasan kenapa kakak-kakakku suka tersenyum sendiri sambil menghayalkan
sesuatu.
Ternyata
benar, ada hal lain yang membuat kita bisa tersenyum sendiri, tapi tak bisa
digambarkan seperti apa ketika diminta untuk menjelaskannya.
Sejak
saat itu, setiap ijin keluar kelas, aku terus menghitung langkah sambil
berjalan menuju kamar mandi. Tapi pada hitungan langkah ke-“dua puluh delapan”
tak pernah lagi kutemukan situasi tabrakan dengan Mimi. Beberapa kali, aku malah hanya menabrak bapak tukang pukul bel,
menabrak guru yang sedang piket. Bahkan ketika tak ada lagi siapa-siapa untuk
ditabrak, aku menabrakkan diri ketembok kamar mandi.
Suatu
pagi aku sedang menunggu Mimi di pos gerbang sekolah seperti biasanya. Tapi
sampai berpuluh-puluh menit dia tak datang juga. Ada apa dengan gadis yang
memiliki gingsul imut disebelah kanan pipinya itu, gingsul yang membuatnya
sangat cantik saat tertawa. “Sampai jam begini dia belum datang juga”.
Sementara
aku masih menunggunya, ada seseorang lagi yang mengagetkanku dari samping.
Kupikir si Karan lagi, ternyata si Fia, teman dekatnya Mimi.
“Mimi
hari ini gak masuk sekolah. Dia lagi ada acara keluarga”, kata Fia sambil
menyodokanku sebuah kertas lipatan.
Aku
hanya bengong memandangi Fia.
“ini
surat balasan Mimi untuk surat yang kamu kasih kemarin” Lanjut Fia, kemudian
membalikkan badan untuk bergegas pergi.
“eh
tunggu” kataku, menghentikan langkah Fia.
“ada
apa?” Fia menengok kembali kearahku dengan serius.
Aku
menatap tangannya, lalu berkata,
“suratnya
masih ditangan kamu. Kan belum aku ambil”.
Sesampainya
dikelas, dengan penuh riang aku membawa-bawa surat balasan Mimi, sambil
menciumnya. Seperti sedang mencium piagam bundar yang biasa dilakukan oleh
pemain bulu tangkis Indonesia, Taufik Safalas, eh bukan, Taufik Hidayat yah.
Sementara
kelas berlangsung, aku mempersiapkan diri untuk membuka surat kebahagiaan itu.
Dengan penuh rasa penasaran aku membukanya perlahan-lahan.
Aku
tersentak melihat isi surat itu. Aku terdiam diri. Bukan karena terharu, atau
karena saking bahagianya. Tapi karena isi suratnya yang pendek, dan berbunyi
“maaf, aku tak bisa membaca tulisanmu”.
Membaca
balasan yang menyedihkan itu, rasanya seperti dibekuk didalam mobil kampas oleh
penyiksa anak-anak, lalu mata diberi irisan jeruk nipis yang sudah dicampur
dengan bawang merah, dan caberawit pedas, kemudian dicolokin sama tangan
nenek-nenek. Perih soob.
Tapi
setelah kuperhatikan, memang sih tulisanku agak sedikit buruk masyaallah
aztagfirullah. Kata karan, tulisanku kayak cakar tuyul. Hanya dapat dibaca
lewat mata batin.
Namun,
dengan trik penulisan HURUF BESAR SEMUA (hasil pemecahan solusi, yang
kurembukan dengan Karan), maka surat menyurat dengan Mimi pun jadi lancar.
Siklusnya selalu sama. Aku memberikan surat lewat perantara Fia, kemudian Mimi
pun membalasnya, lalu memberi suratnya lewat perantara Fia juga.
Aku
jadi dekat dengan Mimi. Walau hanya sebatas surat. Mungkin aku masih terlalu
cemen untuk memberanikan diri menghadap langsung, dan memulai percakapan mata
dengannya.
Sampai
suatu hari Mimi jatuh sakit. Katanya hanya demam. Tapi waktu itu, aku selalu
berfikir bahwa semua penyakit adalah pintu kematian yang sedang terbuka.
Tinggal menyerahkan sama tuhan. Pintu itu bakal ditutup lagi, atau harus
dilewati. Jadi walau hanya demam biasa, aku tetap khawatir untuk tau
keadaannya.
Sejak
kecil aku sungguh tak suka dengan penyakit, rumah sakit, obat-obatan, dan
apapun itu tentang kesehatan (ada cerita lain dibalik semua itu). Walau aku
menyukai seseorang dengan profesi pejuang kesehatan. *Pernah kutulis disini
Ketika
tau Mimi sakit. Aku, dan Karan lalu
berboncengan sepeda menuju rumah Mimi segera.
Ini
adalah momen kedua yang sangat jelas diingatanku tentang si Mimi.
Sesampainya
kami di rumah Mimi. Karan langsung pergi ke teras depan pintu rumah untuk
mengetuk pintu, dan masuk kedalam rumah seorang diri. Sedang aku? Karena masih
begitu canggung bertemu dengan Mimi. Aku terpaksa menunggu karan didepan, tepat
dibawah jendela depan rumah.
Sambil
menunggu Karan, tiba-tiba jendela yang ada diatasku inipun terbuka. Kau tau
dibalik jendela itu siapa? Yah, si Mimi. Ternyata jendela itu adalah jendela
kamar Mimi. Aku menatapnya keheranan untuk kedua kalinya sejak pertama bertemu.
Belum
sempat aku berbicara apa-apa, si Mimi menempelkan telunjuknya di bibirku. Eh
ngimpi, dibibirnya lah. Sambil bersahut,
“ssstttt,
jangan ribut. Ntar ketahuan!”
“Aku
lagi ngunci pintu kamar. Ibuku taunya aku sedang tidur, padahal aku sudah tak
apa-apa kok” lanjut Mimi, dengan bibirnya yang terlihat sedikit pucat, dan
kering.
Sedang
aku tak bisa menahan hidung yang terus gemetaran, dan mau bertukar tempat
dengan mata kanan. Sungguh dihadapannya, lebih mengagetkan dibanding saat
disebut nama oleh guru matematika untuk mengerjakan soal di papan tulis.
Semua
kekhawatiranku dijawab “tak apa-apa” sama si Mimi. Hanya berlangsung beberapa
menit, aku seperti sedang berbicara pada teman lama. Seketika itu kami langsung
akrab. Lalu kuminta Mimi untuk melompat dari jendela, kemudian kami
berkejar-kejaran keliling taman sambil menyanyikan lagu india, dan bermain
sembunyi-sembunyi wajah dibalik pohon, “Pyare kese hotahe”. Tuh kan,
ngayalnya ngaco lagi-__-
Yah
seperti itulah kira-kira cerita awal aku mengenal perasaan suka pada wanita.
Yang aku simpulkan, bahwa cinta tidak masuk secara langsung kedalam hidup kita.
Tapi ia tumbuh dari hati kita, dari perasaan nyaman kita dengan seseorang. Jadi
cinta berkedok perasaan suka pada awalnya. Lalu semakin lama, cinta akan
semakin nampak, dan tumbuh menggantikan perasaan suka itu.
Apakah
berbeda perasaan suka, dan perasaan cinta? Mungkin sama saja. Hanya cinta
adalah bentuk dewasa dari perasaan suka. Seperti kupu-kupu yang merupakan
bentuk dewasa dari kepompong. Memang cinta selalu lebih indah.
Hanya
saja, beberapa cinta selalu berkeinginan untuk saling memiliki. Karena cinta
manusia selalu menuntut persahabatan dengan waktu. Sebab mereka pikir, cinta
akan semakin kuat, ketika waktu semakin mendewasakannya.
Oh
iya. Cinta juga menyesuaikan dengan sang pemilik hati. Kadang cinta selalu ingin
menjaga, dan mengawasi pasangannya. Yah, seperti halnya cinta orang dewasa.
Maka
dari itu, hal yang kubingungkan dari orang dewasa adalah keinginannya untuk
menguasai cinta sepenuhnya.
Aku
hanya berfikir, ketika kita dapat tersenyum, tertawa, dan bahagia dengan
seseorang. Kenapa harus begitu egois untuk ingin memilikinya seutuhnya? Apa
orang dewasa sebegitu pelitnya sampai tak mau berbagi kebahagiaan selain
bersama pasangan? Atau orang dewasa terlau takut akan kehilangan?
Bukankah
ketika kita menyayangi mawar, kita cukup menikmati aromanya, sembari melihatnya
tumbuh, mekar, dan dewasa, tanpa harus memetiknya?
Ada
apa dengan orang-orang dewasa?
Tapi,
sekali lagi. Kau takkan pernah tau perasaan yang abstrak itu, sebelum kau mulai
mencapai pemikirannya.
Setelah
aku sedikit menyelami tentang pikiran orang dewasa. Aku baru tau, bahwa
keinginan cinta orang dewasa bukan hanya sekedar tawa senyum dibibir, tapi juga
merem melek dimata.
Mungkin
karena cinta anak-anak hanya sesederhana, “aku, kamu, dan tawa”. Sedang cinta
orang dewasa, serumit “aku, kamu, dan godaan”.
Suatu
saat nanti, aku ingin mengerti tentang cinta orang dewasa. Tentang mengapa
cinta harus saling melindungi. Mengapa cinta harus saling memiliki. Dan mengapa
cinta harus saling hidup, dan mati.
Salam
hangatku untuk,
orang pertama yang mengenalkanmu cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar