Sabtu, 06 Juni 2015

Awal Mula Cinta Masuk Dihidup Kita

Ada dua hal yang membuatku tak mengerti tentang sejarah cinta manusia. Bagaimana awal mula kita mengenal cinta? dan kapan akhir cinta mengenal kita?

Mengamati akhir cinta, sepertinya tidak mungkin. Analoginya kita masih dipertengahan jalan, dan tak mungkin melihat apa yang ada diujung tujuan. Sedang tak ada orang yang pernah menunjukkan bagaimana akhir cinta itu ada. Karena nampaknya, akhir cinta selalu bersama dengan akhir kehidupan. Makanya, masalah akhir cinta itu seperti apa, jangan dulu kita pikirkan.
Tapi untuk masalah melihat awal mula mengenal cinta, kita tinggal membuka lagi cerita masa kecil. Barangkali beberapa dari cerita masa kecil itu, ada proses awal cinta masuk dihidup kita.
 
Semenjak aku tau bahwa tingkat tertinggi manusia menggunakan memorinya, ada pada masa kecil. Niat untuk mengais kembali kenangan-kenangan pertama itu, langsung tumbuh. Dan memang benar, ingatan masa kecil masih sangat rapi tersimpan dalam rak memory buku kisah kecil kita.

Ketika kau mencoba membuka lagi ingatan-ingatan usang itu. Kau akan menemukan banyak hal-hal pertama dalam hidup.

Aku masih ingat pertama kali menanangkap capung lalu menanamnya, dan berfikir besoknya akan berubah menjadi uang (entah siapa yang mengajarkan kesesatan ini), pertama kali aku kehilangan sepeda waktu nonton balapan motor, pertama kali aku tenggelam dan meminum banyak air waktu berlibur di danau biru. Sampai pertama kali aku berdiam diri dekat pos gerbang sekolah lalu menemui radar seorang gadis, yang membuatku menghabiskan waktu berlama-lama untuk tersenyum sendiri saat memandanginya.
 
Semua  hal-hal pertama itu masih teringat jelas.
Tapi sebelum aku bertemu dengan gadis manis itu, aku belum tau apa-apa tentang ketertarikan dengan wanita. Karena ketidak tahuanku tentang apapun masalah ketertarikan itu, makanya aku selalu bingung dengan tingkah aneh kedua kakak cewekku. Aku sungguh tak paham melihat kakak tertuaku yang suka tertawa sendiri dibalik handponenya, dengan posisi tengkurap bantal dibawah dagu, dan sesekali bergelinjang berputar-putar diatas kasur. Aku juga sungguh tak mengerti melihat kakak keduaku yang selalu menghabiskan waktu tersenyum-senyum sendiri, sambil menuliskan cerita diatas buku bergemboknya yang ia sebut diare, eh diary.
 
Itu semua apa?
Ada apa dengan mereka? Setahuku hal yang bisa membuat seseorang tersenyum dan tertawa hanyalah cerita-cerita lucu, lawakan ditelivisi, mendengar kisah abu nawas, menonton doraemon, diberi hadiah mainan, bermain hujan, dan melihat teman terjatuh yang mendarat ditai ayam. Selebihnya? Apa lagi yang bisa membuat seseorang tersenyum tertawa bahagia selain semua itu?
Aku selalu bertanya tentang keanehan tingkah laku mereka. Tapi sama kakak-kakakku itu, dijawabnya selalu sama “ini urusan orang gede, anak kecil jangan ikut campur”.
 
Aku selalu penasaran tentang apa yang ia rasakan, dan mengapa mereka tak ingin menceritakan?
Belakangan ini aku baru tau, bahwa memang ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, yang mungkin karena terlalu abstrak untuk digambarkan. Bukan karena tak ada penjelasan dari perasaan itu. Tapi ada beberapa hal yang tidak rasional, yang tak bisa dimengerti oleh orang-orang yang belum mengalaminya, dan menjelaskannya hanya membuang-buang waktu saja. Kayak diminta untuk menjelaskan rasa manis pada gula itu seperti apa? Sulit menggambarkannya karena tak ada bahasa yang pas untuk memaknai semua itu. Makanya hanya perlu dirasakan sendiri.
Nah, sekarang aku ingat awal mula mengenal perasaan suka dengan wanita. Iya, perasaan suka. Menyebut itu cinta terlalu dini.

Yasudah, ambil salah satu ingatan yang ada diatas.
“pertama kali tenggelam dan meminum banyak air waktu berlibur di danau biru” bukan yang ini.
“pertama kali kehilangan sepeda waktu nonton balapan motor” bukan ini jugaaaa-__-.
“Pertama kali berdiam diri dekat pos gerbang sekolah. Lalu menemui radar seorang wanita, yang membuatku menghabiskan waktu untuk tersenyum sendiri saat memandanginya” nah ini dia.

Yah. Anggap saja aku suka melakukan hal-hal aneh kalau sedang sendiri.

Disuatu pagi, aku duduk sendiri dekat pos gerbang sekolah. Terdiam, melamun, dan sambil memfokuskan mata kepada semua orang yang lewat. Kayak sedang berimajinasi jadi detektife rahasia, untuk menemukan alien yang menyamar jadi manusia. Sekali lagi, anggap saja itu sikap anehku.

Hingga ada seorang cewek yang membuatku menatapnya lebih lama dibanding manusia lainnya. Bukan, bukan karena aku mencurigainya sebagai alien. Tapi seperti aku menemukan radar yang berbeda dari aura cewek yang satu ini.
 
Aku terus menatapnya. Mulai dari ia turun dari motor vespa ayahnya, sampai ia berjalan masuk ke gerbang sekolah.

Temanku Karan, tiba-tiba datang menghampiri, dan mengagetkanku.
Sambil menepuk pundakku,
“Woii, ada tragedi apa pagi-pagi gini udah cengar-cengir kayak orang sakit?”

Temanku karan ini, adalah satu-satunya teman yang tidak menganggapku aneh. Teman yang selalu merespon setiap hayalan-hayalanku. Mungkin karena dia juga sama anehnya.

Aku terkaget sambil memarahinya,
“aissshh ngagetin aja nih siketek ayam”.

Sambil ia duduk disampingku
“itu sayap ayam, bukan ketek. Ahh, dasar hidung gajah”

Aku melihatnya sinis
“itu belalai gajah, bukan hidung”.

“ Eh ran, aku sedang menemukan belahan jiwaku ran” Lanjutku.

“ahh yang mana?, tau darimana?”
tanya karan penasaran.

Sambil aku menunjuk cewek itu,
“lihat.. Hari ini aku pake baju yang sama dengannya. Padahal aku belum kenal dia. Ini benar-benar takdir jodohku ran”

Karan lalu memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Menatapku lama, dan tajam “lihat aku pake baju apa, lihat teman-teman yang lain pake baju apa?. Kita semua pake baju yang sama begoo. Kita kan anak sekolah”

Aku tak menggubris karan. Aku kembali menatap cewek itu yang sudah beranjak jauh saja.

Lagi-lagi karan mengagetkanku
“gilaa kau So, Itu Mimi?”

“ahh, kau tau darimana?” aku serius menanggapinya.

Dengan santai ia bilang
“ahh, kau saja yang baru tau. Tiga ratus dua puluh lima lelaki disekolah ini yang melihat cewek itu, juga menganggap cewek itu takdir jodoh mereka coy”.

Selama kelas pagi berlangsung, aku terus memikirkan cewek itu. Oh iya, namanya Mimi, dia salah satu cewek tercantik disekolah kami, MIN (Madrasah Ibtidayah Negeri) Lasusua. Dia kelas 3A, sedang aku, dan Karan kelas 3B. Orangnya seperti Cinderella yang ada difilm-film. Bersih, tinggi, imut, dan satu lagi, ketawanya bikin lupa rumah sob. Kata karan, dia juga orangnya kaya. Tapi waktu itu, aku tak pernah ada kualifikasi sama sekali untuk menyukai seseorang dari materi atau apapun itu. Aku tak pernah memikirkan seberapa jauh berbeda aku dengan dia. Yang aku tau lagi-lagi, aku menyukainya karena dia adalah alasan kenapa akhir-akhir ini aku aku akrab dengan bapak penjaga gerbang, dan alasan kenapa aku selalu datang pagi-pagi kesekolah, hanya untuk menantinya.
 
Suatu saat, aku memutuskan untuk menulis surat untuknya. Ini adalah hal yang paling jelas dimemoriku. Pertama kali aku menyusun kalimat indah dikertas putih, yang aku ingin menganggapnya sebagai karya puisi pertamaku. Padahal aku selalu  dihukum Ibu Nurti, guru bahasa Indonesiaku, karena tak menghapal tugas membaca puisi-puisi dari Khairil Anwar.

Tapi setelah itu, aku bingung sendiri mau memberikan surat ini lewat perantara siapa. Berjam-jam dalam kelas aku menghabiskan waktu menghayali gadis perenggut tidur pagiku itu.

Kukantongi surat cintaku yang hanya berupa lipatan kertas putih, lalu aku meminta izin pada Ibu Guru untuk ke toilet buang air ketuban. Dari depan kelas, aku berjalan sambil menghitung langkah. Iya, anggap saja aku aneh (lagi), atau kurang kerjaan.. Tapi memang aku suka melakukan hal-hal seperti itu diwaku kecil. Menghitung langkah demi langkah saat berjalan.

“Dua satu, dua dua, dua tiga..” aku berjalan menuju kamar mandi sekolah. Entah tujuanku apa. Tapi aku suka mendapat ide kalau sedang dalam kamar mandi. Jadi kupikir, pergi ketempat itu mungkin bisa memecahkan masalahku ini.
 
“dua lima, dua enam, dua tujuh..” sambil menghitung langkah, pandanganku saat berjalan hanya melihat kebawah. Ditikungan kamar mandi, tepatnya dihitungan ke “dua puluh delapan” aku menabrak seseorang. Dan taukah kau, aku menabrak siapa? Seseorang dibalik alasan izinku keluar kelas. Seseorang yang membuatku tak mengharapkan hari libur sekolah. Benar sekali, ia adalah Mimi, wanita kedua yang membuatku tertunduk setelah ibu.

Ketika aku menabraknya. Aku kaget stengah mati. Aku langsung tertunduk, setelah beberapa saat memandanginya dengan penuh keheranan. Iya, aku memang terlalu cemen untuk memberanikan diri melihat matanya.

Tapi saat aku bertabrakan dengannya, aku berharap dia membawa buku, atau semacamnya. Jadi, ketika bukunya jatuh, aku bisa membantunya memunguti. Lalu tangan kami akan bertemu disatu buku yang sama. Kemudian kami saling bertatapan. Akhirnya sama-sama jatuh cinta. Kamipun menikah. Punya anak. Dan hidup bahagia. Tapi nyatanya, drama hidup tak seasik drama sinetron. Dia tak membawa apa-apa.

“Eh, maaf” Katanya, lalu buru-buru masuk kamar mandi. Aku baru ingat ada surat yang harus kukasih kedia. Apa yang harus kulakukan dengan situasi seperti ini?, mendobrak pintu kamar mandinya lalu memberikan surat ini?, menyisipkan bom kebawah pintu kamar mandinya, lalu ia terpental keluar, kemudian memberikannya surat ini?, atau melemparkan tali karet lewat lobang atas pintu toilet, kemudian teriak ada ular, lalu ia menjerit keluar dan memberikannya surat ini?, atau…?
  
Ahh, aku melihat seseorang yang baru saja tiba dihadapanku sesaat setelah Mimi buru-buru masuk ketoilet. Ternyata seseorang itu adalah teman Mimi. Lalu aku memberi surat itu kepada teman Mimi. Namanya Fia, ia memperkenalkan diri langsung ketika aku memberinya surat. Tapi ketika ia bertanya balik tentang namaku, aku langsung beranjak pergi jauh. Berlari kayak orang yang lagi dikejar angsa berkepala panjang (saking malunya).

Sejak pertama kali aku melihat Mimi di gerbang sekolah,
aku jadi sedikit mengerti tentang alasan kenapa kakak-kakakku  suka tersenyum sendiri sambil menghayalkan sesuatu.
 
Ternyata benar, ada hal lain yang membuat kita bisa tersenyum sendiri, tapi tak bisa digambarkan seperti apa ketika diminta untuk menjelaskannya.

Sejak saat itu, setiap ijin keluar kelas, aku terus menghitung langkah sambil berjalan menuju kamar mandi. Tapi pada hitungan langkah ke-“dua puluh delapan” tak pernah lagi kutemukan situasi tabrakan dengan Mimi. Beberapa kali, aku  malah hanya menabrak bapak tukang pukul bel, menabrak guru yang sedang piket. Bahkan ketika tak ada lagi siapa-siapa untuk ditabrak, aku menabrakkan diri ketembok kamar mandi.

Suatu pagi aku sedang menunggu Mimi di pos gerbang sekolah seperti biasanya. Tapi sampai berpuluh-puluh menit dia tak datang juga. Ada apa dengan gadis yang memiliki gingsul imut disebelah kanan pipinya itu, gingsul yang membuatnya sangat cantik saat tertawa. “Sampai jam begini dia belum datang juga”.

Sementara aku masih menunggunya, ada seseorang lagi yang mengagetkanku dari samping. Kupikir si Karan lagi, ternyata si Fia, teman dekatnya Mimi.
“Mimi hari ini gak masuk sekolah. Dia lagi ada acara keluarga”, kata Fia sambil menyodokanku sebuah kertas lipatan.
 
Aku hanya bengong memandangi Fia.
“ini surat balasan Mimi untuk surat yang kamu kasih kemarin” Lanjut Fia, kemudian membalikkan badan untuk bergegas pergi.

“eh tunggu” kataku, menghentikan langkah Fia.

“ada apa?” Fia menengok kembali kearahku dengan serius.

Aku menatap tangannya, lalu berkata,
“suratnya masih ditangan kamu. Kan belum aku ambil”.

Sesampainya dikelas, dengan penuh riang aku membawa-bawa surat balasan Mimi, sambil menciumnya. Seperti sedang mencium piagam bundar yang biasa dilakukan oleh pemain bulu tangkis Indonesia, Taufik Safalas, eh bukan, Taufik Hidayat yah.
Sementara kelas berlangsung, aku mempersiapkan diri untuk membuka surat kebahagiaan itu. Dengan penuh rasa penasaran aku membukanya perlahan-lahan.
                                      
Aku tersentak melihat isi surat itu. Aku terdiam diri. Bukan karena terharu, atau karena saking bahagianya. Tapi karena isi suratnya yang pendek, dan berbunyi “maaf, aku tak bisa membaca tulisanmu”.

Membaca balasan yang menyedihkan itu, rasanya seperti dibekuk didalam mobil kampas oleh penyiksa anak-anak, lalu mata diberi irisan jeruk nipis yang sudah dicampur dengan bawang merah, dan caberawit pedas, kemudian dicolokin sama tangan nenek-nenek. Perih soob.

Tapi setelah kuperhatikan, memang sih tulisanku agak sedikit buruk masyaallah aztagfirullah. Kata karan, tulisanku kayak cakar tuyul. Hanya dapat dibaca lewat mata batin.

Namun, dengan trik penulisan HURUF BESAR SEMUA (hasil pemecahan solusi, yang kurembukan dengan Karan), maka surat menyurat dengan Mimi pun jadi lancar. Siklusnya selalu sama. Aku memberikan surat lewat perantara Fia, kemudian Mimi pun membalasnya, lalu memberi suratnya lewat perantara Fia juga.

Aku jadi dekat dengan Mimi. Walau hanya sebatas surat. Mungkin aku masih terlalu cemen untuk memberanikan diri menghadap langsung, dan memulai percakapan mata dengannya.

Sampai suatu hari Mimi jatuh sakit. Katanya hanya demam. Tapi waktu itu, aku selalu berfikir bahwa semua penyakit adalah pintu kematian yang sedang terbuka. Tinggal menyerahkan sama tuhan. Pintu itu bakal ditutup lagi, atau harus dilewati. Jadi walau hanya demam biasa, aku tetap khawatir untuk tau keadaannya.

Sejak kecil aku sungguh tak suka dengan penyakit, rumah sakit, obat-obatan, dan apapun itu tentang kesehatan (ada cerita lain dibalik semua itu). Walau aku menyukai seseorang dengan profesi pejuang kesehatan. *Pernah kutulis disini
 
Ketika tau Mimi sakit. Aku, dan Karan lalu  berboncengan sepeda menuju rumah Mimi segera.
Ini adalah momen kedua yang sangat jelas diingatanku tentang si Mimi.

Sesampainya kami di rumah Mimi. Karan langsung pergi ke teras depan pintu rumah untuk mengetuk pintu, dan masuk kedalam rumah seorang diri. Sedang aku? Karena masih begitu canggung bertemu dengan Mimi. Aku terpaksa menunggu karan didepan, tepat dibawah jendela depan rumah.

Sambil menunggu Karan, tiba-tiba jendela yang ada diatasku inipun terbuka. Kau tau dibalik jendela itu siapa? Yah, si Mimi. Ternyata jendela itu adalah jendela kamar Mimi. Aku menatapnya keheranan untuk kedua kalinya sejak pertama bertemu.
 
Belum sempat aku berbicara apa-apa, si Mimi menempelkan telunjuknya di bibirku. Eh ngimpi, dibibirnya lah. Sambil bersahut,
“ssstttt, jangan ribut. Ntar ketahuan!”

“Aku lagi ngunci pintu kamar. Ibuku taunya aku sedang tidur, padahal aku sudah tak apa-apa kok” lanjut Mimi, dengan bibirnya yang terlihat sedikit pucat, dan kering.

Sedang aku tak bisa menahan hidung yang terus gemetaran, dan mau bertukar tempat dengan mata kanan. Sungguh dihadapannya, lebih mengagetkan dibanding saat disebut nama oleh guru matematika untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Semua kekhawatiranku dijawab “tak apa-apa” sama si Mimi. Hanya berlangsung beberapa menit, aku seperti sedang berbicara pada teman lama. Seketika itu kami langsung akrab. Lalu kuminta Mimi untuk melompat dari jendela, kemudian kami berkejar-kejaran keliling taman sambil menyanyikan lagu india, dan bermain sembunyi-sembunyi wajah dibalik pohon, “Pyare kese hotahe”. Tuh kan, ngayalnya  ngaco lagi-__-
 
Yah seperti itulah kira-kira cerita awal aku mengenal perasaan suka pada wanita. Yang aku simpulkan, bahwa cinta tidak masuk secara langsung kedalam hidup kita. Tapi ia tumbuh dari hati kita, dari perasaan nyaman kita dengan seseorang. Jadi cinta berkedok perasaan suka pada awalnya. Lalu semakin lama, cinta akan semakin nampak, dan tumbuh menggantikan perasaan suka itu.

Apakah berbeda perasaan suka, dan perasaan cinta? Mungkin sama saja. Hanya cinta adalah bentuk dewasa dari perasaan suka. Seperti kupu-kupu yang merupakan bentuk dewasa dari kepompong. Memang cinta selalu lebih indah.
 
Hanya saja, beberapa cinta selalu berkeinginan untuk saling memiliki. Karena cinta manusia selalu menuntut persahabatan dengan waktu. Sebab mereka pikir, cinta akan semakin kuat, ketika waktu semakin mendewasakannya.

Oh iya. Cinta juga menyesuaikan dengan sang pemilik hati. Kadang cinta selalu ingin menjaga, dan mengawasi pasangannya. Yah, seperti halnya cinta orang dewasa.
Maka dari itu, hal yang kubingungkan dari orang dewasa adalah keinginannya untuk menguasai cinta sepenuhnya.
 
Aku hanya berfikir, ketika kita dapat tersenyum, tertawa, dan bahagia dengan seseorang. Kenapa harus begitu egois untuk ingin memilikinya seutuhnya? Apa orang dewasa sebegitu pelitnya sampai tak mau berbagi kebahagiaan selain bersama pasangan? Atau orang dewasa terlau takut akan kehilangan?

Bukankah ketika kita menyayangi mawar, kita cukup menikmati aromanya, sembari melihatnya tumbuh, mekar, dan dewasa, tanpa harus memetiknya?

Ada apa dengan orang-orang dewasa?
Tapi, sekali lagi. Kau takkan pernah tau perasaan yang abstrak itu, sebelum kau mulai mencapai pemikirannya.

Setelah aku sedikit menyelami tentang pikiran orang dewasa. Aku baru tau, bahwa keinginan cinta orang dewasa bukan hanya sekedar tawa senyum dibibir, tapi juga merem melek dimata.
Mungkin karena cinta anak-anak hanya sesederhana, “aku, kamu, dan tawa”. Sedang cinta orang dewasa, serumit “aku, kamu, dan godaan”.     
 
Suatu saat nanti, aku ingin mengerti tentang cinta orang dewasa. Tentang mengapa cinta harus saling melindungi. Mengapa cinta harus saling memiliki. Dan mengapa cinta harus saling hidup, dan mati.


Salam hangatku untuk,
 orang pertama yang mengenalkanmu cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar