Senin, 05 Oktober 2015

Untuk Bapak yang Kuharap Suatu Saat kan Kupanggil Ayah



Kepada Bapak dari wanita cantik, nan solehah yang saha hormati. Perkenalkan, saya pria nekat yang meneguhkan hati untuk mengungkapkan banyak hal kepada Bapak tentang putri Bapak.
Sebelumnya, saya ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak atas pengakuan ini. Saya mencintai anak Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf karena sudah sangat lancang menyayangi anak Bapak. Padahal saya tau, anak Bapak adalah anak yang cerdas, berpendidikan, dan yang terpenting punya agama yang kuat. Lalu berani-beraninya seorang mahasiswa biasa, yang belum jelas masa depannya seperti apa, datang dikehidupan putri tersayang Bapak, lalu membuatnya jatuh hati.
Tapi jangan marah dulu, Pak. Saya tak seperti pencinta lainnya. Pencinta yang membuat seseorang jatuh cinta, lalu membuat orang itu menjadi miliknya padahal belum ada ikatan akad sama sekali. Saya tak ingin menjauhkan anak Bapak dari kasih sayang Sang-Penganugerah-Keindahan. Saya bahkan tak pernah berusaha membuat anak Bapak jatuh hati. Saya tak pernah mengatakan apapun tentang perasaan saya ke anak Bapak. Pun sebaliknya anak Bapak tak pernah menunjukkan sama sekali tentang apa yang ada dihatinya untuk saya.
Tapi bagaimana bisa kami saling tau, bahwa kami saling mencintai? Memahami pak. Entah bagaimana anak Bapak menemukan sedikit signal yang membuat ia yakin bahwa saya mencintainya. Begitupun dengan saya ke anak Bapak, tak sengaja kutemukan sesuatu dibalik sikap tersembunyinya yang membuat saya percaya nama saya ada dalam hatinya. Kami berusaha kok, Pak, untuk menutupi semua perasaan itu. Karena kami percaya bahwa kita tidak berhak memiliki perasaan suka dengan seseorang, sebelum ada janji akad di pelaminan. Tapi ini semua diluar perencanaan kami, kami sama sama ketahuan telah saling memahami.
Namun saya bilang lagi kepada bapak yang saya hormati sebelum bapak terlalu marah kepada saya. Saya tak seperti pencinta lainnya. Jadi saya tak memacari anak bapak, saya tak pernah mengajak ngedate anak bapak, dan saya tak pernah sekalipun menatap mata anak bapak lebih dari tiga detik. Walau kadang saya khilaf, karena merindukan, dan memikirkannya disetiap malam.
Lalu untuk masalah masa depanku yang belum jelas seperti yang saya beritahukan tadi. Saya ingin memperjelasnya pak.
Jika maksud Bapak gambaran masa depan, adalah gambaran pekerjaan, jabatan, dan tahta seseorang didunia profesi nanti. Maka perlu bapak tau.
Yang pertama: Bahwa saya sedang menjalani kuliah yang ditanggung oleh pemerintah provinsi. Dan dalam kontrak perjanjian beasiswa tersebut mengatakan, bahwa ketika saya telah menyelesaikan study saya sebagai sarjana, maka saya akan langsung diberi jaminan kerja dari provinsi tersebut. Dan apabila saya tidak mendapatkan jaminan tersebut, maka saya boleh pergi mencari pekerjaan diluar provinsi tersebut, tanpa ada ikatan kontrak lagi, dan tanpa mengungkit lagi segala tanggungan yang ada dalam beasiswa.
Yang kedua: Kakak saya adalah pimpinan perusahaan di Sulawesi Selatan yang cakupan pekerjaannya berkapasitas nasional. Bukan ia menjaminkan kursi jabatan diperusahaannya untuk saya, tapi perusahaan tersebut sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berkompeten dibidang atau jurusan yang saya miliki ini. Sehingga beliau sangat menantikan kelulusan saya untuk bisa membantunya di perusahaan.
Yang ketiga: Orang tua saya tidak menginginkan saya untuk langsung bekerja setelah sarjana nanti. Mereka menginginkan saya memilih akan dua hal. Yaitu melanjutkan study S2 diluar negeri. Atau masuk kedalam AkPol untuk nantinya akan dijadikan perwira di kepolisian. Nah, itulah yang kumaksud ketidak jelasan masa depanku dalam hal pekerjaan pak.
Kepada Bapak dari wanita muslimah, nan indah yang saya hormati. Sekali lagi saya mohon maaf atas kelancangan saya mencintai anak Bapak. Tapi jika Bapak menantang saya tentang keikhlasan cinta, dan ketulusan sayang yang saya miliki untuk anak Bapak. Saya berani berdiri tegak dihadapan Bapak untuk memegang teguh kata-kata itu, Pak. Bukan mau kelihatan jago, atau sok keren. Tapi saya hanya lelaki, yang ingin mempertanggung jawabkan perasaan yang karena keteledoran saya, sehingga perasaan ini ketahuan oleh anak Bapak. 
Dihadapan anak Bapak, saya tak pernah sakalipun mengucapkan sedikit kata apapun tentang perasaan saya kepadanya. Tapi dihadapan Bapak, entah berapa kali saya telah mengatakan pengakuan bahwa saya mencintai anak Bapak. Saya jatuh cinta oleh ahlaknya, oleh cara berpakaiannya, oleh cara bertutur katanya, dan saya jatuh cinta oleh cara ia mencintai Sang Penguasa Cinta. Sayapun kagum kepada Bapak, kepada ketegasan Bapak dalam mendidik, kepada kasih sayang Bapak dalam mendewasakan, dan saya kagum kepada cinta Bapak untuk anak Bapak yang saya cinta.
Saya selalu berdoa sebelumnya untuk diberi kemampuan berbicara seperti ini dengan Bapak. Karena saya yakin, cara berbicara adalah qualifikasi pertama ketika kita menilai seseorang yang baru kita jumpai. Saya begitu gugup berbicara seperti ini kepada Bapak. Bagaimana tidak, Bapak sangat persis dengan anak Bapak. Sangat ramah walau sulit ditaklukkan, hangat nyaman walau selalu membuat gemetar bahkan hanya berada didekatnya. 
Tidak Pak. Saya tidak bermaksud merayu Bapak dengan kata kata pujian seperti ini. Tapi kalau boleh, sudihkah Bapak kurayu dengan ketulusan sepenuh hati untuk membahagiakan anak bapak suatu saat nanti? Bukan berlebihan, Pak. Tapi pencapaian kebahagiaannya juga berarti raihan kebahagiaanku.
Kepada Bapak yang kuharap dapat kupanggil Ayah suatu hari nanti. Saya sadar bahwa saya bukan seorang pangeran yang pantas disandingkan dengan putri secantik, dan seindah tuan putrinya Bapak. Hanya seorang rakyat biasa yang sedang jatuh hati kepada anak sang raja. Hanya seorang manusia biasa yang keras kepala, tak tau diri, dan tak ingin menyerah untuk mendapatkan restu dari sang pemilik putri, yaitu Bapak. Maaf jika itu menyebalkan.
Tapi saya bermimpi, suatu saat akan menjadi seorang pangeran, dengan menikahi tuan putri terindah yang pernah ada dalam dongengku. Tolong sampai hari itu tiba, jangan bangunkan saya dari mimpi ini, Pak. Tolong sampai hari itu menjadi nyata, jangan runtuhkan dongeng yang telah kubangun bersamanya, Pak.
 
Suatu saat ketika saya telah berhak memegang tangan tuan putri untuk membawanya pergi dari istana Bapak. Lalu kemudian Bapak menemui berita bahwa sang tuan putri tak bahagia hidup bersama saya. Maka Bapak boleh turun dari istana kerajaan, membawa segala pasukan, dengan segala murka. Dan  kemudian menembakkan segala kemarahan, dan kekerasan untuk membuat saya sadar akan janji saya membahagiakan sang putri. Saya seyakin ini karena anak Bapak juga. Anak hebat yang ingin menerima saya apa adanya. Anak indah yang ingin meraih kesejahteraan bersama sama. Berjuang bersama sama. Dan yang terpenting mencari ridho Yang Kuasa bersama sama. Saya kagum dengan kebahagiaan seperti itu yang diinginkan si tuan putri, Pak.
Kepada Bapak dari wanita yang saya cintai setulus hati. Kuharap Bapak berkenan kupanggil Ayah suatu saat nanti.
*Sekian

Salam hangatku, 
untuk kakek dari anak-anakmu nanti teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar