Kepada Bapak dari
wanita cantik, nan solehah yang saha hormati. Perkenalkan, saya pria nekat yang
meneguhkan hati untuk mengungkapkan banyak hal kepada Bapak tentang putri
Bapak.
Sebelumnya, saya ingin memohon maaf yang
sebesar-besarnya kepada Bapak atas pengakuan ini. Saya mencintai anak Bapak.
Sekali lagi saya mohon maaf karena sudah sangat lancang menyayangi anak Bapak.
Padahal saya tau, anak Bapak adalah anak yang cerdas, berpendidikan, dan yang
terpenting punya agama yang kuat. Lalu berani-beraninya seorang mahasiswa
biasa, yang belum jelas masa depannya seperti apa, datang dikehidupan putri
tersayang Bapak, lalu membuatnya jatuh hati.
Tapi jangan marah dulu, Pak. Saya tak seperti pencinta
lainnya. Pencinta yang membuat seseorang jatuh cinta, lalu membuat orang itu
menjadi miliknya padahal belum ada ikatan akad sama sekali. Saya tak ingin
menjauhkan anak Bapak dari kasih sayang Sang-Penganugerah-Keindahan. Saya bahkan
tak pernah berusaha membuat anak Bapak jatuh hati. Saya tak pernah mengatakan
apapun tentang perasaan saya ke anak Bapak. Pun sebaliknya anak Bapak tak
pernah menunjukkan sama sekali tentang apa yang ada dihatinya untuk saya.
Tapi bagaimana bisa kami saling tau, bahwa
kami saling mencintai? Memahami pak. Entah bagaimana anak Bapak menemukan
sedikit signal yang membuat ia yakin bahwa saya mencintainya. Begitupun dengan
saya ke anak Bapak, tak sengaja kutemukan sesuatu dibalik sikap tersembunyinya
yang membuat saya percaya nama saya ada dalam hatinya. Kami berusaha kok, Pak,
untuk menutupi semua perasaan itu. Karena kami percaya bahwa kita tidak berhak
memiliki perasaan suka dengan seseorang, sebelum ada janji akad di pelaminan.
Tapi ini semua diluar perencanaan kami, kami sama sama ketahuan telah saling memahami.
Namun saya bilang lagi kepada bapak yang saya
hormati sebelum bapak terlalu marah kepada saya. Saya tak seperti pencinta
lainnya. Jadi saya tak memacari anak bapak, saya tak pernah mengajak ngedate
anak bapak, dan saya tak pernah sekalipun menatap mata anak bapak lebih dari
tiga detik. Walau kadang saya khilaf, karena merindukan, dan memikirkannya
disetiap malam.
Lalu untuk masalah masa depanku yang belum
jelas seperti yang saya beritahukan tadi. Saya ingin memperjelasnya pak.
Jika maksud Bapak gambaran masa depan, adalah
gambaran pekerjaan, jabatan, dan tahta seseorang didunia profesi nanti. Maka
perlu bapak tau.
Yang pertama: Bahwa saya sedang menjalani
kuliah yang ditanggung oleh pemerintah provinsi. Dan dalam kontrak perjanjian
beasiswa tersebut mengatakan, bahwa ketika saya telah menyelesaikan study saya
sebagai sarjana, maka saya akan langsung diberi jaminan kerja dari provinsi
tersebut. Dan apabila saya tidak mendapatkan jaminan tersebut, maka saya boleh
pergi mencari pekerjaan diluar provinsi tersebut, tanpa ada ikatan kontrak
lagi, dan tanpa mengungkit lagi segala tanggungan yang ada dalam beasiswa.
Yang kedua: Kakak saya adalah pimpinan
perusahaan di Sulawesi Selatan yang cakupan pekerjaannya berkapasitas nasional.
Bukan ia menjaminkan kursi jabatan diperusahaannya untuk saya, tapi perusahaan
tersebut sangat membutuhkan sumber daya manusia yang berkompeten dibidang atau jurusan
yang saya miliki ini. Sehingga beliau sangat menantikan kelulusan saya untuk
bisa membantunya di perusahaan.
Yang ketiga: Orang tua saya tidak menginginkan
saya untuk langsung bekerja setelah sarjana nanti. Mereka menginginkan saya
memilih akan dua hal. Yaitu melanjutkan study S2 diluar negeri. Atau masuk
kedalam AkPol untuk nantinya akan dijadikan perwira di kepolisian. Nah, itulah
yang kumaksud ketidak jelasan masa depanku dalam hal pekerjaan pak.
Kepada Bapak dari wanita muslimah, nan indah
yang saya hormati. Sekali lagi saya mohon maaf atas kelancangan saya mencintai
anak Bapak. Tapi jika Bapak menantang saya tentang keikhlasan cinta, dan
ketulusan sayang yang saya miliki untuk anak Bapak. Saya berani berdiri tegak
dihadapan Bapak untuk memegang teguh kata-kata itu, Pak. Bukan mau kelihatan jago, atau sok keren. Tapi saya hanya lelaki, yang ingin
mempertanggung jawabkan perasaan yang karena keteledoran saya, sehingga perasaan
ini ketahuan oleh anak Bapak.
Dihadapan anak Bapak, saya tak pernah
sakalipun mengucapkan sedikit kata apapun tentang perasaan saya kepadanya. Tapi
dihadapan Bapak, entah berapa kali saya telah mengatakan pengakuan bahwa saya
mencintai anak Bapak. Saya jatuh cinta oleh ahlaknya, oleh cara berpakaiannya,
oleh cara bertutur katanya, dan saya jatuh cinta oleh cara ia mencintai Sang
Penguasa Cinta. Sayapun kagum kepada Bapak, kepada ketegasan Bapak dalam
mendidik, kepada kasih sayang Bapak dalam mendewasakan, dan saya kagum kepada
cinta Bapak untuk anak Bapak yang saya cinta.
Saya selalu berdoa sebelumnya untuk diberi
kemampuan berbicara seperti ini dengan Bapak. Karena saya yakin, cara berbicara
adalah qualifikasi pertama ketika kita menilai seseorang yang baru kita jumpai.
Saya begitu gugup berbicara seperti ini kepada Bapak. Bagaimana tidak, Bapak
sangat persis dengan anak Bapak. Sangat ramah walau sulit ditaklukkan, hangat
nyaman walau selalu membuat gemetar bahkan hanya berada didekatnya.
Tidak Pak.
Saya tidak bermaksud merayu Bapak dengan kata kata pujian seperti ini. Tapi kalau
boleh, sudihkah Bapak kurayu dengan ketulusan sepenuh hati untuk membahagiakan
anak bapak suatu saat nanti? Bukan berlebihan, Pak. Tapi pencapaian
kebahagiaannya juga berarti raihan kebahagiaanku.
Kepada Bapak yang kuharap dapat kupanggil Ayah
suatu hari nanti. Saya sadar bahwa saya bukan seorang pangeran yang pantas
disandingkan dengan putri secantik, dan seindah tuan putrinya Bapak. Hanya
seorang rakyat biasa yang sedang jatuh hati kepada anak sang raja. Hanya
seorang manusia biasa yang keras kepala, tak tau diri, dan tak ingin menyerah
untuk mendapatkan restu dari sang pemilik putri, yaitu Bapak. Maaf jika itu menyebalkan.
Tapi saya bermimpi, suatu saat akan menjadi
seorang pangeran, dengan menikahi tuan putri terindah yang pernah ada dalam
dongengku. Tolong sampai hari itu tiba, jangan bangunkan saya dari mimpi ini, Pak.
Tolong sampai hari itu menjadi nyata, jangan runtuhkan dongeng yang telah
kubangun bersamanya, Pak.
Suatu saat ketika saya telah berhak memegang
tangan tuan putri untuk membawanya pergi dari istana Bapak. Lalu kemudian Bapak
menemui berita bahwa sang tuan putri tak bahagia hidup bersama saya. Maka Bapak
boleh turun dari istana kerajaan, membawa segala pasukan, dengan segala murka.
Dan kemudian menembakkan segala
kemarahan, dan kekerasan untuk membuat saya sadar akan janji saya membahagiakan
sang putri. Saya seyakin ini karena anak Bapak juga. Anak hebat yang ingin
menerima saya apa adanya. Anak indah yang ingin meraih kesejahteraan bersama
sama. Berjuang bersama sama. Dan yang terpenting mencari ridho Yang Kuasa bersama
sama. Saya kagum dengan kebahagiaan seperti itu yang diinginkan si tuan putri,
Pak.
Kepada Bapak dari
wanita yang saya cintai setulus hati. Kuharap Bapak berkenan kupanggil Ayah
suatu saat nanti.
*Sekian
Salam hangatku,
untuk kakek dari anak-anakmu nanti teman.
untuk kakek dari anak-anakmu nanti teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar