Aku menatap jendela,
dengan penuh hayal sambil memperhatikan titik demi titik hujan yang membentuk
jalur seperti sebuah lalu lintas diatas kaca jendela, yang selalu membuatku
menghabiskan waktu berlama-lama, hanya untuk menatap setiap kejadian dibalik
jendela kamarku.
Aku sangat suka dengan hujan.
Menurutku hujan selalu berhasil membangkitkan kenangan. Hujan adalah jalan
untuk membuka kembali buku-buku yang berisikan cerita indah dimasa lalu. Tidak
heran aku banyak menyimpan kenangan dibawahnya, dibawah rintik maupun derasnya
air yang merindukan ini.
Setelah hujan semalam, pagi
harinya langit sangatlah cerah, sampai celoteh ayam saja terdengar begitu
bahagia berteriak-teriak dipagi ini. Setiap pagi aku selalu terbangun oleh
alarm hapeku, tapi aku hanya bangun lalu mematikannya. Kalau berbunyi lagi,
kumatikan lagi lalu lanjut tidur lagi. Tapi ada satu alarm yang tidak bisa
dihentikan,
“Bara… Bara… ayoo
kesekolah…!! Sudah jam berapa ini..” nah kan suara ini yang tak mengenal
istilah bobo lima menit lagi, alarm manual dari mulut sang ibu. Satu-satunya
cara untuk menghentikannya hanyalah pergi kehadapannya lengkap dengan seragam
handuk lalu melapor
“iya, iya, siaappp. Ini udah mau mandi”.
“iya, iya, siaappp. Ini udah mau mandi”.
Oh iya, namaku Bara,
seorang pelajar yang selalu akrab dengan penjaga gerbang sekolah, dengan tukang
pengangkut sampah Dinas Kebersihan, dan guru-guru piket pemberi hukuman bagi
siswa yang datang terlambat.
Yah, karena setiap
harinya, aku selalu dianggap terlambat datang sekolah. Padahal menurutku mereka
yang terlalu cepat menetapkan jam masuk. Aturan di sekolahku ini, bagi siswa
yang datang terlambat akan mendapatkan hukuman dulu sebelum masuk kelas.
Biasanya sih membantu petugas kebersihan mengangkut sampah. Makanya aku bisa
akrab dengan orang-orang yang berhubungan dengan gerbang sekolah.
“Bar.. kalau gak ada
kamu rasanya sepi depan sekolahmu ini” kata petugas kebersihan sambil
mengangkut tong sampah ke mobil pengangkutnya, aku tersenyum saja lalu lanjut berlari
menuju gerbang sekolah.
“Bar.. Bar.. Bosen ibu liat kamu” kata ibu Lidiana sang Guru piket.
Aku hanya tertawa kecil tanpa suara sambil mengusap kepala belakangku.
“Bar.. tuh tuan putrimu, udah dari tadi dibelakang kelasnya nungguin kamu tuh..” bisik pak Difta yang juga hari ini jadwal piketnya, sang guru muda sekaligus sahabat yang selalu meloloskanku dari siping rambut, tapi juga paling kepo untuk tau masalah asmaraku.
“Bar.. Bar.. Bosen ibu liat kamu” kata ibu Lidiana sang Guru piket.
Aku hanya tertawa kecil tanpa suara sambil mengusap kepala belakangku.
“Bar.. tuh tuan putrimu, udah dari tadi dibelakang kelasnya nungguin kamu tuh..” bisik pak Difta yang juga hari ini jadwal piketnya, sang guru muda sekaligus sahabat yang selalu meloloskanku dari siping rambut, tapi juga paling kepo untuk tau masalah asmaraku.
“Haha.. thankyou
Brother..” kataku ke pak Difta.
aku berlari menuju belakang kelas tuan putriku yang sedari tadi menunggu kedatanganku.
“Baaarrrr.. mauu kemana kamuuu...??” aku tak menggubris teriakan ibu Lidiana.
Sesampainya aku dihadapan Sofhy, sang tuan putri yang dimaksudkan pak Difta, dengan ngos-ngosan aku bilang,
“Fhy, ini udah jam masuk kelas. Kamu masuk kelas gih! Nanti pas jam istirahat aku janji bakal ke kelas kamu. Udah yah, aku balik kegerbang dulu. Bu Lidiana udah marah-marah tuh”
aku berlari menuju belakang kelas tuan putriku yang sedari tadi menunggu kedatanganku.
“Baaarrrr.. mauu kemana kamuuu...??” aku tak menggubris teriakan ibu Lidiana.
Sesampainya aku dihadapan Sofhy, sang tuan putri yang dimaksudkan pak Difta, dengan ngos-ngosan aku bilang,
“Fhy, ini udah jam masuk kelas. Kamu masuk kelas gih! Nanti pas jam istirahat aku janji bakal ke kelas kamu. Udah yah, aku balik kegerbang dulu. Bu Lidiana udah marah-marah tuh”
Namanya Sofhy. Seorang
wanita yang selalu membuatku semangat untuk datang kesekolah. Wanita periang
yang sangat mirip dengan kepribadianku, wanita yang selalu menjadi lawan debatku
bahkan untuk hal-hal yang sangat remeh. Setiap aku melihat tingkahnya, perilakunya,
bahkan ekspresinya aku seperti melihat refleksi dari diriku sendiri, tempatku
bercermin dan memperbaiki diri. Tapi dari situlah aku belajar banyak hal tentang
diriku sendiri, tentang bagaimana rasanya hidup disekitar orang yang seperti
diriku. Perkenalkan ia adalah Shofy, wanita yang membuatku takut untuk
melupakan hal-hal indah. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku mulai
menulis. Aku tak mau kehilangan semua ini. Aku takut jika hanya ini hal indah
yang tuhan berikan untukku. Maka suatu hari, jika semua hal indah ini harus
kulepas, setidaknya aku punya tulisan ini, untuk membuatku terus bersyukur
kepada tuhan, bahwa aku pernah dalam kondisi tak membutuhkan apa-apa lagi
selain dia. Wanita yang kan memenuhi cerita indahku hingga aku akan
menjadikannya sebuah kisah untuk aku ceritakan ke anak-anak ku kelak.
Lonceng bel istrahat berbunyi.
“Bara.. Bar..” aku
tersenyum mendengar suara ini.
“Eh bauu apaan nih?.. kayak bau monyet yang kesenggol babi terperangkap di
lembah tai gajah, lalau keselek lalat pemakan sampah organik” Oceh sahabatku
Riana setelah ia tiba dihadapanku.
“Eh jangkrik bermuka kecebong,
aku mandi kali. Sialaan” jawabku dengan nada sok marah.
“Haha, mau mandi gak mandi juga sama aja bau kelelawar hangus.” Balasnya. Percakapan
tidak penting seperti ini yang selalu berhasil membuatku sangat akrab dengan
Riana.
“Eh, ini ada tugas sastra nih dari Bu Lidiana, bantuin yaakk.. yaakk?”
lanjutnya, dengan senyum-senyum menggoda.
“Aahh, dasar.. kalau ada maunya ajaa!! Sok maniss!!.. udah gak usah senyum
bengkok kayak gitu, najis mugalladza tau gak. Mana mana tugasnya?.. sini
sini!!”
Namanya Riana, sahabat
dekatku yang selalu membuatku update
tentang informasi anak jaman sekarang, sekaligus pengingatku kalau ada
pertemuan ataupun hal-hal penting dalam organisasi. Yah sederhananya, dia lebih
terlihat seperti sekertaris sang direktur dari sebuah perusahaan besar, bedanya
dia tidak terlihat seksi sama sekali. Tapi, setiap organisasi yang aku pegang,
sahabat ngayalku ini pasti selalu setia membantu. Dan juga kelas dia tepat
disamping kelasku. Jadi setiap bel jam istirahat telah berbunyi, dia tinggal
teriak kecil dari depan pintu kelasnya untuk memanggilku. Oh iya, sahabatku
yang ini adalah yang paling tidak disukai Sofhy. Anehnya hanya sahabatku ini
yang sangat tidak bisa membuat sofhy tenang, setiap dia tau aku sedang
bersamanya.
“Oh iyaa, aztaga..
tadi aku janji temuin sofhy pas bel istrahat. Karena sepertinya dia mau ngasih
tau sesuatu” ucapku dalam hati sangat kaget. Aku adalah orang yang sangat
pelupa. Kata Omku, pelupa ku ini penyakit. Sepertinya ada semacam tulang ikan
yang mengganjal di penyimpanan memori otakku ini katanya.
“Aku lupa sesuatu na..
nanti yah lunjutinnya”
Kataku pada Riana
terburu-buru. Aku lalu berlari menuju kelas Sofhy. Setibaku di kelas Sofhy, dia
tidak ada. Kata temannya dia pergi ke kelasku. Dengan heran, dan panik aku
melihat-lihat dan mencari kesekeliling. Aku melihatnya berjalan lemah sambil
tertunduk. Aku menghampirinya, tapi bel masuk juga sudah berbunyi.
“Fhy, maafin aku.. aku
lupa”
Dia tak menggubrisku,
dan terus berjalan.
“Fhy. Sofhy..” aku
menarik perlahan tangannya yang beranjak melewatiku.
Tangannya sangat
lemah.
“Aku gak papa, aku mau
masuk kelas” dengan nada lemas dia melepas tanganku lalu melanjutkan jalannya
menuju kelasnya.
“Fhy..” teriakku
sekali lagi. Tapi dia terus berjalan dan masuk kelas.
Dengan kesal, dan
penuh khawatir pikiranku terus tak karuan selama di kelas memikirkan tingkah
sofhy hari ini.
Bel pulang pun
berbunyi. Aku bergegas, dan berlari pergi ke kelas sofhy. Aku tak melihatnya,
aku menanyakannya kepada sahabatnya,
“Sofhy sejak pagi terlihat pucat kak, dia disuruh Guru buat istirahat dirumah
aja, tapi katanya tunggu sampe jam istrahat selesai. Jadi setelah jam istrahat,
masuk kelas, dia langsung ngambil tasnya trus aku anterin dia pulang kak. Sofhy
kenapa sih kak?” kata Dijah sahabat Sofhy yang juga ikut khawatir.
Sambil berfikir.
Seperti yang aku duga kalau Sofhy sepertinya hari ini sakit.
Tanpa menjawab pertanyaan Dijah, aku langsung beranjak seperti kakek-kakek yang berjalan tanpa tongkat. Aku sangat menghawatirkan keadaan Sofhy. Memikirkan ada apa sampai ia menahan sakit hanya untuk bertemu denganku.
Tanpa menjawab pertanyaan Dijah, aku langsung beranjak seperti kakek-kakek yang berjalan tanpa tongkat. Aku sangat menghawatirkan keadaan Sofhy. Memikirkan ada apa sampai ia menahan sakit hanya untuk bertemu denganku.
Aku menelpon Sofhy,
tapi hingga aku tiba di rumahku, Sofhy belum juga mengangkatnya.
Setelah beberapa lama Sofhy tak mengangkat telponku, aku menelpon adiknya Lina.
Setelah beberapa lama Sofhy tak mengangkat telponku, aku menelpon adiknya Lina.
“Halo Lin, Sofhy dirumah kan?” kataku didalam telpon
“Iya kak, dia lagi
istirahat dikamarnya.. udah bobo sejak aku pulang sekolah”
“Oh dia lagi tidur??..
oh yaudah gak papa.. gak usah digangguin”
Aku menghela nafas,
setidaknya dia istirahat dulu.
*Malam harinya*
Aku menanyakan kabar
Sofhy lagi pada adiknya Lina. Katanya Sofhy sudah istrahat sejak jam 9 tadi. Yasudahlah, akan kucoba menyingkirkan
sejenak kekhawatiranku ini, setidaknya aku
punya hari yang indah untuk menjengungknya diesok hari, kataku menenangkan
hati yang menahan rindu tak bertemu seharian dengannya.
Malam telah larut, hujan
lagi lagi jadi sahabat mala mini. Aku bersiap tidur. Seperti biasa kumatikan
lampu kamarku, menarik selimut, lalu menutupi seluruh tubuh dari kaki hingga
kepala. Membungkus diri seperti seekor ulat dalam naungan kepompong. Aku sangat
suka situasi seperti ini, melihat kegelapan diruang yang sempit, menggeliatkan
badan untuk merasakan sejuk dan hangat yang berbaur, ditemani suara merdu hujan
yang terus menabuh atap kamar.
Situasi ini sangat
memungkinkanku untuk tidur dengan sangat nyaman. Tapi entah mengapa hingga
hujan pun reda, mataku tak kunjung terlelap, otak ku tak berhenti memikirkan
tentangnya. Aku terlalu khawatir tentang seseorang untuk menikmati tidur yang
menggelisahkan ini.
Kutatap hapeku dengan
niat untuk menelpon dan sekedar mendengar suaranya agar malam indahku ini tak
penuh resah. Tapi aku tak mau mengganggu istirahatnya. Yasudahlah, sekali lagi
harus aku harus berfikir positife saja tentang keadaannya.
Aku kembali berusaha
memejamkan mata, “tuuurrttt, turrrt, turrt”. Ah, saat aku justru berusaha
terlelap ada saja yang mengganggu. Ada
apa, sampai ada orang menelpon tengah malam begini. Dengan kesal aku
langsung mengangkat hape ku tanpa melihat kontak namanya dahulu.
“Halo…?? Kenapa sih nelpon tengah malam begini??” jawabku dengan
nada kesal.
“Aku kangen boodooohhh…” jawab suara sang
wanita diseberang sana. Mataku terbelalak, selimut yang tadinya membungkus
tubuhku dengan sigap aku menyingkapnya, dengan rasa kaget dan senang kulihat
hapeku dulu untuk memastikan bahwa yang menelponku ini benar-benar Shofy,
“Halo Fhy.. Kamu
gimana, udah baekan?” kataku dengan penuh kecemasan.
“Iya udah. Gak papa”
singkatnya, dengan nada lemas.
“Kamu udah minum obat
kan?” aku hanya memberinya perhatian. Aku tak mau membebaninya dengan membahas
kejadian di sekolah tadi. Aku yakin tadi dia melihatku bersama Riana. Aku tau
dia sangat marah.
“Hmmm…” Dia tak
menjawab pertanyaanku.
“Fhy, aku minta maaf
yah” Lanjutku. Aku tak kuasa untuk menahan kata maaf yang memang seharusnya
kuucapkan.
“Iya gak papa. Eh Bar,
mataku gak bisa lelap, kepikiran kamu terrus. Obat belum aku minum, makan
malamku pun belum aku makan” Jawabnya
santai, dan penuh harap. Aku tau dia takkan marah dengan kondisi seperti ini.
kalau saja dia sedang sehat, kejadian di sekolah tadi adalah bencana buatku.
“Loh kamu belum makan? Belum minum obat juga? Kenapa sih bodoh?”
nadaku setengah marah.
“Aku gak bakal makan,
gak bakal minum obat, kalau gak liat kamu dulu. Aku pengen ketemu kamu
sekarang!” tantangnya yang terdengar begitu semangat.
“jangan gila dong sayang, ini sudah tengah malam. Sudah jam satu pagi”
kataku menentang ide gila Sofhy.
Tapi selama
bersamanya, Aku memang banyak melihat hal-hal gila dari Shofy. Mulai dari
ketika aku harus datang subuh-subuh kesekolah hanya untuk bertemu dengannya secepat
mungkin, dan harus berfoto bersama sekedar mengabadikan momen di pagi buta saat
itu, sampai disuatu malam larut, ia pergi sendiri di Bypass (jalan hasil reklamasi pantai), tempat dimana angin begitu
kencang, ombak yang menerjang jalan, dan hujan deras yang melanda, hanya karena
aku sedang sibuk dan agar aku harus menemui dan segera datang kepadanya, karena
aku tau dia sangat gampang untuk sakit.
Putri kecilku ini begitu lemah, tapi dia akan melakukan hal gila apapun hanya
untuk bertemu denganku, hanya untuk meminjam pundakku, hanya untuk menceritakan
semua kisahnya seharian ini.
Kalo mengingat malam
yang mencekam itu. Entah mengapa dimalam itu aku merasakan sejuk bukan dari
pandangan hujan, terasa hangat yang tidak dimiliki api unggun, dan terasa erat
dekapan yang tak mampu dijelaskan bumi ataupun langit, masa bodoh dengan sakit
yang akan melanda, bersamanya aku kuat.
Tapi tetap saja dia
sang putri lemah. Sofhy selalu sakit dibuat hujan malam. Aku selalu menyalahkan
hujan saat itu juga, tapi mengucap syukur setelahnya. Kepadanya yang telah
menyimpan kenangan indah ini, “terimakasih” hai air yang merindukan.
“Pokoknya aku gak mau
tau kamu harus dateng kejendela kamarku, atau aku gak bakalan sembuh” ucap
Sofhy dengan ancaman tak logisnya. Sekaligus mengagetkanku dari lamunan yang
membuatku berfikir bahwa malam ini hanyalah salah satu dari malam-malam aneh
yang kulalui dengannya.
Aku tau, ini bukan hal
gila pertama kalinya. Kalau begitu aku harus memilih, tetap berdiam diri dalam
kepompong gelap ini dengan penuh kegelisahan, atau sedikit mengorbankan tubuh
atas dinginnya malam bekas siraman hujan, demi mengobati rindu dan memberi
kasih.
“yaudah.. aku kesana sekarang” kataku seperti cowok sejati di
film-film.
Aku bangun memakai
jaket tebalku dengan celana panjang levis. Sedikit membasuh muka, mungkin bisa
menyegarkan mata dan membuat wajah ini lebih menggemaskan untuk dilihat tengah
malam begini.
Keluar kamar dengan sangat perlahan, karena aku tak mau ketahuan dan membuat
alasan yang tidak-tidak untuk menjawab pertanyaan ayah, mau kemana aku tengah malam begini.
Membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, mengeluarkan motor sambil
mengendap-ngendap dengan tanpa ada suara, yakin saja saat ini aku pasti terlihat
seperti maling motor yang ada di kompleks-kompleks.
Setelah mendorong motor agak jauh dari rumah, barulah aku menyalakannya, dan
mulailah aku pada petualangan dimalam sunyi senyap, dingin menggigil, angin menyengat
yang menyerang, tapi hanya dengan selimut rindu membuat segalanya jadi
baik-baik saja. Baiklah, tunggu apa lagi.
Dibelakang rumah Sofhy
ada mesjid, jaraknya sekitar 15 meter. Kuparkir motor didepan mesjid, untuk
jaga-jaga saja. Kalau saja aku ketahuan
oleh Om galaknya, aku akan lari lewat depan rumah Sofhy dan memutar menuju
mesjid untuk mengambil motor. Karna kalau motor kuparkir depan rumah Sofhy,
yakin saja aku tak akan punya cukup waktu untuk menyalakannya. Sekali lagi mending
dikira maling, daripada ketahuan aku. Besok-besok pasti aku tak bisa lagi main
kerumah Sofhy kalau ketahuan. Jadi ini strategi yang paling pas. Pikirku
menyusun rencana.
Aku mulai berjalan dengan
sangat hati-hati menuju kesebelah timur rumah Sofhy yang dipenuhi rerumputan
tak terurus, terlihat beberapa pohon pisang dan tumbuhan lainnya mengganggu
langkahku.
Disana ada tiga
jendela. Jendela pertama dengan perlahan aku melihatnya, ah, ini jendela dapur. Aku berjalan sambil tunduk melewati jendela
kedua, sekarang aku berada diantara jendela kedua, dan ketiga. Aku melihat
jendela ketiga dulu, mendongakkan kepala berharap tak ada kecoak terbang yang
muncul dengan tiba-tiba dikepalaku. Hordennya sedikit terbuka, kulihat ada asap
rokok didalam kamar itu. Aku kaget stengah mati saat melihat disana ada seorang
laki-laki. Ah, ternyata itu Om galaknya.
Ia berjalan hendak membuang rokoknya di tempat sampah kamarnya. Dengan cepat,
langsung kupalingkan kepalaku ketembok. Posisiku sekarang seperti Densus88 yang
akan memergoki teroris disebuah kamar hotel. Sial, Omnya belum tidur juga. Kesalku dalam hati.
Dengan badan yang
masih melekat ditembok, aku berjalan perlahan menuju kejendela dua. Ah, yang ini hordennya terbuka lebar. Aku
melihat seorang cewek yang bermain hape diatas ranjangnya. Ah, benar dia dia Sofhy. Aku melambaikan tangan dibalik jendela.
Tapi Sofhy belum juga melihatku. Baiklah,
ini mungkin sedikit berani. Aku mengetuk perlahan kaca jendela hanya
menggunakan jari telunjuk. Dia mendengarnya. Nah, dia sekarang melihatku dan
menuju kejendela.
Dengan wajah setengah merem,
ia membuka jendelanya dengan sangat hati-hati. Terlihat sekali dia juga sangat
takut akan ketahuan. Jendela kamar Sofhy pun terbuka selebar 7CM.
“Maaf yah sayang, jendelaku hanya bisa terbuka sampe segini”. Kata Sofhy berbisik.
“Maaf yah sayang, jendelaku hanya bisa terbuka sampe segini”. Kata Sofhy berbisik.
“Apa? Cuman selebar ini? tanganku pun bahkan
susah meraih tanganmu dengan cela sesempit ini” Balasku juga dengan nada berbisik.
Tapi setelah
kuperhatikan. Jendela kamar Sofhy memang menggunakan jenis jendela daun terbuka
dengan cara diputar dalam sumbu horizontal.
“Yaudah gak papa” Lanjutku.
Dengan jendela yang
hanya terbuka selebar ini. Kurapatkan kepalaku ketembok, sehingga dari
pandangan Sofhy wajahku terlihat bahkan tak sampai setengahnya.
Sofhy menggenggam tanganku.
Sofhy: ‘Maaf yah, sudah mengganggu tidur nyamanmu.’
“Terimakasih sudah membebaskanku dari
kegelisahan tidur malamku”.
Sofhy: ‘Maaf yah,
sudah membuatmu keluar tengah malam dengan suhu sedingin ini. Kamu bisa sakit.’
“Terimakasih sudah menyembuhkanku dari
kerinduan yang membara ini. Kamu tuh, yang sakit.”
Sofhy: ‘Orang aku
minta maaf, malah dikasi terimakasih. Dasar kamu kerjaannya puitis mulu. Dasar
penulis ngawur sosmed.’
”Orang kamu gak salah apa-apa juga, malah minta
maaf. Kamu sih tukang khawatir. Dasar penulis blog cerita fantasy.”
Sofhy: ‘Kamu jangan
ngeledek. Sekali lagi kamu ngeledek. Aku jadiin kamu cerita dengan judul
“Tomket bermuka tapir dibalik jendela”. Eh kamu bilang aku sih tukang khawatir?
Kamu tuh sih tukang kembang gula pasar malam. Manisnya sih kerasa, tapi suka
hilang gak tau kemana. Kemarin pulang sekolah kamu dimana?’
“Yailah, aku kan main playstation”
Sofhy: ‘Dengan siapa?’
“Kan aku udah bilang sama teman-teman”
Sofhy: ‘Semalam
berbuat apa?? Haha’
“Yailah malah nyanyi. Ah dasar pelawak
merangkap tukang sirkus. Membuatku tak bisa kemana-mana dengan setiap
pertunjukan kata yang selalu membuatku tercekam dalam lingkaran api kaasih
sayang, Membuatku terombang ambing dengan lenturnya bibir manis yang selalu
tersusun makna cinta. Membuatku takjup akan permainan mimpi yang kau sesatkan
dalam hayalanku hingga aku tak bisa menemukan fantasy lain selain sosok dirimu.”
Sofhy: ‘Biasa aja ah,
dasar penggombal merangkap pelatih renang. Membuatku hanyut akan kata-kata
indah, lalu mengajakku kedasar cinta yang begitu dalam, seakan kau pahlawan
yang menyelamatkanku dari dalamnya asmara, padahal kau yang menenggelamkanku
dengan manisnya senyuman dan lepasnya tawa yang membuatku lupa akan ada mahluk
lain selain dirimu.’
“Kamu lupa yah Fhy? Aku kan gak tau renang.”
Sofhy: ‘Aztaga.. sorry
sayang. Aku lupa. Kamu taukan aku sama parahnya dengan kronisnya sifat pelupa
kamu juga. Aku tau aku sering meminta, selain meminta maaf, aku juga sering
meminta kasih putih sucimu yang selalu kau banggakan itu.’
“Iya gak papa. Kamu gak mau tidur cepat? Siapa
tau, besok pagi kamu sembuh, jadi bisa ikutan Penjaskes. Dengan olahraga kan
kamu jadi kuat, kuat untuk memberiku setiap kenangan yang selalu kau janjikan
untuk mengindahkan segalanya bersamaku.”
Sofhy: ‘Bodoh, sejak
kapan aku suka Penjaskes. Terahir kali Penjaskes kan aku masuk UKS kecapean
lari keliling lapangan. Dasar kamu ngeledek ah.’
“Eh, iya yah. Tapi itu bukan ngeledek sayang. Tadinya
itu pujian buat tuan putri yang sebegitu manjanya sampe mau makan aja, mau
ditemenin.”
Sofhy: ‘Bukan cuman
mau ditemenin tapi, mau disuapin juga. Oh
iya, bentar aku ambil makan dulu.’
Tanpa menggubris
responku Sofhy beranjak mengambil makanan yang ada dimejanya.
Ah, bener-bener ini anak. Alasannya suka gak masuk
akal cuman karena pengen ditemenin. Tapi beneran dari tadi dia belum
makan? ahh. Kataku berceloteh sendiri.
Sofhy datang dengan
membawa sepiring nasi, dan segelas air.
Aku menyuapinya dengan sedikit sulit, karena tanganku terus tergesek diantara himpitan jendela sempit ini.
Aku menyuapinya dengan sedikit sulit, karena tanganku terus tergesek diantara himpitan jendela sempit ini.
Baru makan tiga
sendok. Katanya, dia sudah tidak kuat. Yaudahlah,
gak papa. Yang penting isi perutnya ada. Lagian dengan tubuh sekecil itu
penampungannya gak butuh banyak asupan. Pikirku.
Setelah makan. Dia
membuka obatnya dengan 5 macam warna. Entah, itu obat apa saja. Yang jelas, beberapa
obat, bentuknya ada yang bulat, beberapa ada yang lonjong. Setelah meminum
semua obatnya, bukannya lemas atau ngantuk, dia malah terlihat lebih semangat
lagi buat lanjut ngobrol.
“Udahkan minum obatnya. Mau langsung istirahat? Kataku dengan lembut.”
Sofhy: ‘Gak mau. Aku
pengen ngobrol sampe pagi.’
“Haha, dasar tukang cerita. Eh ngomong-ngomong
kamu ingat gak, kalau kamu pernah hujan-hujanan di pinggir bypass hanya supaya
aku harus meninggalkan apa yang aku kerjain, dan supaya aku harus nemuin kamu
saat itu juga. Pernah juga kamu nyuruh si Ihsan buat datang kerumahku untuk
bangunin aku, hanya karena aku gak angkat telpon kamu. Ingat kan? kadang aku
masih tak habis pikir dengan kelakuanmu Fhy. Sekacau itukah kau merindukanku?
Sepilu itukah kau menginginkanku? Seperti kau hanya membutuhkanku?”
Sofhy: ‘Aku belum
pernah kasi tau ke kamu yah? Kamu itu udah kayak TV buat aku. Kalau aku pengen
ketawa aku mau itu karenamu, kalau aku pengen denger berita aku pengen berita
itu tentangmu, kalau aku pengen nangis aku mau cuman kamu yang menyaksikanku. Setelah
Ayahku gak ada, aku pengen kamu satu-satunya lelaki yang memarahiku, yang
menegurku, yang membuatku tumbuh dan dewasa. Karena aku hanya bisa belajar dari
apa yang kamu sadarkan, karena aku ingin menjadi aku yang kau dambakan. Aku tau
Ibu, Lina (adik Sofhy), semuanya juga tau persis tentangku. Tapi mereka terlalu
sungkan untuk menyalahkanku, terlalu baik untuk membuatku kuat, terlalu sayang
untuk ingin mengerti keburukanku lebih dalam. Bukan aku hanya membutuhkanmu,
tapi hanya kamu yang selalu kubutuhkan dengan cara unikmu menyayangiku.’
“Mungkin kamu benar Fhy. Aku juga hanya bisa
mengerti dari teguran yang kamu sadarkan ke aku. Setiap aku liat kamu, aku seperti
ngeliat refleksi dari diriku sendiri, aku seperti belajar dan mengerti rasanya
bagaimana orang-orang hidup disekitar kita. Masa bodoh dengan zodiak, aku
bilang begini bukan karena zodiak kita sama. Tapi aku liat ini dengan
benar-benar apa adanya kamu. Kata anak-anakpun begitu. Kepribadian kita terlalu
mirip. Tapi, semoga saja itu alasan positif kenapa kita harus ada dibawah
jendela yang sama walaupun dengan ruang yang berbeda.”
Sofhy: ‘Mulai lagi dah
puitis. Tapi iya, sahabat-sahabatku juga bilang gitu. Kita punya sifat yang
sama.’
“Oh yah? Yaudah kalau gitu, aku mau kamu kasih
aku beberapa sifat negative yang aku punya. Trus aku juga bakal bilang beberapa
sifat negative yang kamu punya. Walaupun ini sudah pernah kita bahas. Tapi kali ini, aku mau
cocokin apa bener sifat negatife yang kamu sebutin keaku itu juga ada sama
kamu.”
Sofhy: ‘Ok. Kamu itu
cowok yang paling gak bisa nahan pendapat yang ada dihati atau dipikiran. Kalau
ada yang mengganjal dari pikiranmu, kamu langsung negur itu sebagai sesuatu yang
ganjal, tidak jarang kamu memprotesnya. Padahal gak semua pendapat yang kamu
utarakan itu bisa berdampak baik, kadang orang mengartikannya dengan sinis,
sehingga yang terjadi orang malah drop,
bukannya termotivasi. Nah, kamu gitu. Gimana?’
“Hmmm, iya iya sih. Kalau dipikir-pikir aku memang gitu. Tapi
kamu justru lebih terlihat sedang menceritakan diri sendiri. Benerkan kamu juga
kayak gitu?”
Sofhy: ‘hehe, iya sih.
Aku bisa ngomong sekompleks gitu karena aku juga melihatnya dari diri aku.
Kalau aku gimana?’
“Ok. Kamu itu kalau dapat teguran atau advice
dari orang lain, kamu selalu membela diri, biar kamu tidak terlihat seburuk
yang orang lain pikirkan. Seakan kamu tak mau mengerti kalau itu memang buruk,
padahal kamu sendiri tidak cukup bodoh untuk menyadarinya. Ini menandakan kamu
itu selalu ingin di lihat baik dimata orang lain. Padahal kamu sendiri hobi
menasehati orang lain, tapi giliran kamu dinasehati orang lain, kamu memilih
punya penyelesaian sendiri, seakan kamu punya pemikiran yang lebih bagus. Dan
pada akhirnya bibit keegoisan itu bakal muncul. Makanya aku selalu ingetin kamu
tentang ini.”
Sofhy: ‘hehe bener
banget sayang. Aku gak bakal egois untuk tidak mengakuinya. Tapi aku yakin kamu
bisa membaca sedalam itu karena kamu juga
merasa kalau kamu juga kayak gitukan? Kamu justru lebih gak suka
dinasehatin tauk. Mungkin kamu itu lebih kekeras kepala.’
“Hehe, iya, iya. Fhy aku pengen sedikit serius
ngomong kekamu. Coba deh, kita realistis dulu. Kamu taukan segala sesuatu yang
berlebihan itu gak baik? Cinta pun begitu, tak baik berlebihan. Kamu suka
mengorbankan hal-hal tak logis hanya untuk dekat denganku, aku suka melakukan
hal-hal gila hanya untuk membuatmu tersenyum, tertawa, bahagia. Kita saling
berpegangan tangan dengan erat seakan kita gak tau kalau ini dosa. Kita saling
berdekap dengan begitu kuat seakan kita gak tau kalau tuhan marah melihat ini.
Kita terlalu banyak belajar satu sama lain, tapi kita menolak mengerti bahwa
~segala hubungan tak ada yang abadi~”
Sofhy terdiam.
“Fhy, coba kau pikirkan!”
Sofhy: ‘aku belum
kepikiran sampai sana.’
“Coba kau renungkan!”
Sofhy: ‘Aku belum siap
merenungkannnya.’
“Hanya bintang-bintang hanya kaulah yang
kusayang.”
Sofhy: ‘Aztagaa
bodooohhh. Malah nyanyi.’
“Haha, kamu kan yang tadi mulai.”
Sofhy: ‘Lama-lama
setiap aku rindu kamu, yang aku rasakan bukan “kangen”. Tapi “kangen” yang
belakangnya ditambahi “band”.’
“Haha, kangen band dong.”
Malam itu percakapan
paling menakjubkan menurutku. Kalimat-kalimat manis yang selalu melekat
dibenakku. Tanya jawab mesrah yang berisikan ledekan usil yang begitu asik.
Bercanda, berfantasy, berhayal, berdebat dan bersitegang, semuanya menjadi
penanda kisah kasihku bahwa malam itu adalah salah satu malam indahku.
Dari jendela itu, aku
melihat kekasih yang kucintai, aku memberi kasih pada yang kukasihi, dan aku
mendapat kisah tentang bagaimana sejatinya kasih itu.
Harus kuakui, Sofhy
adalah wanita satu-satunya yang membuatku sangat senang mengobrol dengannya,
satu-satunya wanita yang pernah kutemui dengan selera humor yang tinggi,
satu-satunya wanita yang kudapatkan sangat asik bercanda bahkan berfantasy
dengannya. Satu-satunya wanita yang membuatku selalu khilaf untuk menggenggam
tangan kecilnya dengan sangat erat.
Dari “kasih dibalik jendela”
itu aku belajar, bahwa hanya ada satu cara dari suatu hubungan yang akan kita
nikmati hingga masa tua tiba.
Satu-satunya cara yang
dapat kita lakukan untuk menikmati suatu hubungan ketika kita tak mampu untuk
berbuat apa-apa lagi. Yaitu mengobrol sambil berpegang tangan satu sama lain.
Bercengkrama dan bercanda. Berfantasy dan bernostalgia masa-masa muda. Mungkin
itulah alasan kenapa aku sangat suka dengan wanita yang enak diajak ngobrol,
selera humor yang tinggi, dan asik diajak bercanda. Karena hanya itu caraku
untuk tetap mengindahkan hubungan hingga ahir hayatku.
Dari jendela itu aku
belajar banyak hal.
Akan tiba suatu masa dimana kita akan mencapai hari tua bersama kekasih (insyaallah).
Akan tiba suatu masa dimana kita akan mencapai hari tua bersama kekasih (insyaallah).
Akan tiba suatu masa, dimana kita tidak dapat lagi bersolek di tempat keramaian
dan perbelanjaan, berkelana ketempat-tempat wisata dan tempat pegunungan,
mencari hiburan kewahana maupun tempat satwa.
Akan tiba suatu masa
dimana kita tak dapat lagi, bercanda sambil bergendongan, berlari sambil
bertarik tangan, bahkan melakukan hal-hal kecil untuk memanjakan sang pasangan.
Akan tiba suatu masa
dimana lingkar pergaulan kita semakin lama semakin sempit, hingga hanya ada
satu orang yang akan kita temui setiap saatnya. Hanya ada satu orang yang
membuat kita terus percaya bahwa hubungan seperti ini masih bisa disebut lebih
dari indah.
Aku selalu memimpikan
hari tuaku. Hari dimana aku akan dipanggil kakek. Kakek yang sedang berpegangan
tangan dengan seorang nenek sambil tertawa bahagia dengan gigi ompongnya.
Sambil mengenang masa-masa indah saat muda dulu, sambil mengobrolkan hal-hal
lucu dari pergaulan kakek-nenek.
Mungkin hingga hari
itu akan tiba, aku akan percaya, bahwa “Cinta Sejati” itu tumbuh, bukan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar