Aku menatap jendela dengan penuh hayal sambil memperhatikan titik demi titik hujan yang membentuk jalur, seperti sebuah lalu lintas diatas kaca jendela, yang selalu membuatku menghabiskan waktu berlama-lama, hanya untuk menatap setiap kejadian dibalik jendela kamarku.
Aku sangat suka dengan hujan.
Menurutku hujan selalu berhasil membangkitkan kenangan. Hujan adalah jalan
untuk membuka kembali kisah-kisah yang berisikan cerita indah dimasa lalu. Tidak
heran aku banyak menyimpan kenangan dibawahnya, dibawah rintik maupun derasnya
air yang merindukan ini.
Bahkan saat terlalu larut dalam hayalan kenangan, kadang ada yang terasa aneh. Hujannya diluar jendela, tapi basahnya disepanjang pipi.
Bahkan saat terlalu larut dalam hayalan kenangan, kadang ada yang terasa aneh. Hujannya diluar jendela, tapi basahnya disepanjang pipi.
Malam telah larut, aku mematikan
lampu kamarku, menarik selimut, lalu menutupi seluruh tubuh dari kaki hingga kepala. Membungkus
diri seperti seekor ulat dalam naungan kepompong. Aku sangat suka situasi seperti ini,
melihat kegelapan diruang yang sempit, menggeliatkan badan untuk merasakan
sejuk dan hangat yang berbaur, ditemani suara merdu hujan yang terus menabuh
atap kamar.
Situasi ini sangat
memungkinkanku untuk tidur dengan sangat nyaman. Tapi entah mengapa hingga
hujan pun reda, mataku tak kunjung terlelap, otak ku tak berhenti memikirkan
tentangnya. Aku terlalu khawatir tentang seseorang untuk menikmati tidur yang
menggelisahkan ini.
Kutatap hapeku dengan niat untuk menelpon dan sekedar mendengar suaranya
agar malam indahku ini menjadi sempurna. Tapi aku tak mau mengganggu istirahatnya.
Sejak pukul 09.00 tadi, dia sudah istirahat, dia sedang sakit, sang wanita perenggut
tidur malamku yang membuat aku hawatir tengah malam begini. Yasudahlah, akan kucoba menyingkirkan
sejenak kekhawatiranku ini, setidaknya aku
punya hari yang indah untuk menjengungknya diesok hari, kataku menenangkan
hati yang menahan rindu tak bertemu seharian dengannya.
Aku kembali berusaha
memejamkan mata, “tuuurrttt, turrrt, turrt”. Ah, saat aku justru berusaha
terlelap ada saja yang mengganggu. Ada
apa, sampai ada orang menelpon tengah malam begini. Dengan kesal aku
langsung mengangkat hape ku tanpa melihat kontak namanya dahulu.
“halo…?? Kenapa sih nelpon tengah
malam begini??” jawabku dengan nada kesal.
“aku kangen boodooohhh…” jawab
suara sang wanita diseberang sana. Mataku terbelalak, selimut yang tadinya membungkus
tubuhku dengan sigap aku menyingkapnya, dengan rasa kaget dan senang kulihat
hapeku dulu untuk memastikan bahwa yang menelponku ini benar-benar Shofy, sang
kekasih hatiku. Oh, ternyata aku belum
tertidur. Ini bukan mimpi. Ini betul dia. Aku sekedar meyakinkan diriku.
“aahh, aku kangen banget tau,
seharian gak ketemu gini juga. Eh bentar, bukannya tadi jam sembilan kamu udah
bobo?” aku begitu antusias bebicara dengan gadis yang kurindukan ini.
“mataku gak bisa lelap, kepikiran kamu terrus. Obat belum aku minum, makan
malamku pun belum aku makan” jawab Sofhy dengan nada khasnya.
“loh kamu belum makan? Belum minum
obat juga? Kenapa sih bodoh?” nadaku setengah marah.
“aku gak bakal makan, gak bakal minum obat, kalau gak liat kamu dulu.
Aku pengen ketemu kamu sekarang!” tantangnya yang terdengar begitu semangat.
“jangan gila dong sayang, ini
sudah tengah malam. Sudah jam satu pagi” kataku menentang ide gila Sofhy.
Tapi selama bersamanya, Aku memang banyak melihat hal-hal gila dari
Shofy. Mulai dari ketika aku harus datang subuh-subuh kesekolah hanya untuk bertemu
dengannya secepat mungkin, dan harus berfoto bersama sekedar mengabadikan momen
di pagi buta saat itu, sampai disuatu malam larut, ia pergi sendiri di Bypass (jalan hasil reklamasi pantai), tempat
dimana angin begitu kencang, ombak yang menerjang jalan, dan hujan deras yang
melanda, hanya karena aku sedang sibuk dan agar aku harus menemui dan segera
datang kepadanya, karena aku tau dia sangat gampang untuk sakit.
Putri kecilku ini begitu lemah, tapi dia akan melakukan hal gila apapun hanya untuk bertemu denganku, hanya untuk meminjam pundakku, hanya untuk menceritakan semua kisahnya seharian ini.
Putri kecilku ini begitu lemah, tapi dia akan melakukan hal gila apapun hanya untuk bertemu denganku, hanya untuk meminjam pundakku, hanya untuk menceritakan semua kisahnya seharian ini.
Kalo mengingat malam yang mencekam itu. Entah mengapa dimalam itu aku
merasakan sejuk bukan dari pandangan hujan, terasa hangat yang tidak dimiliki
api unggun, dan terasa erat dekapan yang tak mampu dijelaskan bumi ataupun
langit, masa bodoh dengan sakit yang akan melanda, bersamanya aku kuat.
Tapi tetap saja dia sang putri lemah. Sofhy selalu sakit dibuat hujan
malam. Aku selalu menyalahkan hujan saat itu juga, tapi mengucap syukur setelahnya.
Kepadanya yang telah menyimpan kenangan indah ini, “terimakasih” hai air yang
merindukan.
“Pokoknya aku gak mau tau kamu harus dateng kejendela kamarku, atau aku
gak bakalan sembuh” ucap Sofhy dengan ancaman tak logisnya. Sekaligus
mengagetkanku dari lamunan yang membuatku berfikir bahwa malam ini hanyalah
salah satu dari malam-malam aneh yang kulalui dengannya.
Aku tau, ini bukan hal gila pertama kalinya. Kalau begitu aku harus
memilih, tetap berdiam diri dalam kepompong gelap ini dengan penuh kegelisahan,
atau sedikit mengorbankan tubuh atas dinginnya malam bekas siraman hujan, demi
mengobati rindu dan memberi kasih.
“yaudah.. aku kesana sekarang”
kataku mengakhiri telepon seperti cowok sejati di film-film.
Aku bangun memakai jaket tebalku dengan celana panjang levis. Sedikit
membasuh muka, mungkin bisa menyegarkan mata dan membuat wajah ini lebih
menggemaskan untuk dilihat tengah malam begini.
Keluar kamar dengan sangat perlahan, karena aku tak mau ketahuan dan membuat alasan yang tidak-tidak untuk menjawab pertanyaan ayah, mau kemana aku tengah malam begini.
Membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, mengeluarkan motor sambil mengendap-ngendap dengan tanpa ada suara, yakin saja saat ini aku pasti terlihat seperti maling motor yang ada di kompleks-kompleks.
Keluar kamar dengan sangat perlahan, karena aku tak mau ketahuan dan membuat alasan yang tidak-tidak untuk menjawab pertanyaan ayah, mau kemana aku tengah malam begini.
Membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, mengeluarkan motor sambil mengendap-ngendap dengan tanpa ada suara, yakin saja saat ini aku pasti terlihat seperti maling motor yang ada di kompleks-kompleks.
Setelah mendorong motor agak jauh dari rumah, barulah aku menyalakannya, dan
mulailah aku pada petualangan dimalam sunyi senyap, dingin menggigil, angin menyengat
yang menyerang, tapi hanya dengan selimut rindu membuat segalanya jadi
baik-baik saja. Baiklah, tunggu apa lagi.
Dibelakang rumah Sofhy ada masjid, jaraknya sekitar 15 meter. Kuparkir
motor didepan mesjid, untuk jaga-jaga saja. Kalau
saja aku ketahuan oleh Om galaknya, aku akan lari lewat depan rumah Sofhy dan
memutar menuju masjid untuk mengambil motor. Karna kalau motor kuparkir depan
rumah Sofhy, yakin saja aku tak akan punya cukup waktu untuk menyalakannya. Sekali
lagi mending dikira maling, daripada ketahuan aku. Besok-besok pasti aku tak
bisa lagi main kerumah Sofhy kalau ketahuan. Jadi ini strategi yang paling pas.
Pikirku menyusun rencana.
Aku mulai berjalan dengan sangat hati-hati menuju kesebelah timur rumah
Sofhy yang dipenuhi rerumputan tak terurus, terlihat beberapa pohon pisang dan
tumbuhan lainnya mengganggu langkahku.
Disana ada tiga jendela. Jendela pertama dengan perlahan aku melihatnya,
ah, ini jendela dapur. Aku berjalan
sambil tunduk melewati jendela kedua. Sekarang aku berada diantara jendela
kedua, dan ketiga. Aku melihat jendela ketiga dulu, mendongakkan kepala
berharap tak ada kecoak terbang yang muncul dengan tiba-tiba dikepalaku.
Hordennya sedikit terbuka, kulihat ada asap rokok didalam kamar itu. Aku kaget
stengah mati saat melihat disana ada seorang laki-laki. Ah, ternyata itu Om galaknya. Seketika ia berjalan hendak membuang rokoknya
di tempat sampah kamarnya. Dengan cepat, langsung kupalingkan kepalaku
ketembok. Posisiku sekarang seperti Densus88 yang akan memergoki teroris
disebuah kamar hotel. Sial, Omnya belum
tidur juga. Kesalku dalam hati.
Dengan badan yang masih melekat ditembok, aku berjalan perlahan menuju
kejendela dua. Ah, yang ini hordennya
terbuka lebar. Aku melihat seorang cewek yang bermain hape diatas
ranjangnya. Ah, benar dia dia Sofhy. Aku
melambaikan tangan dibalik jendela. Tapi Sofhy belum juga melihatku. Baiklah, ini mungkin sedikit berani. Aku
mengetuk perlahan kaca jendela hanya menggunakan jari telunjuk. Dia
mendengarnya. Nah, dia sekarang melihatku dan menuju kejendela.
Dengan wajah setengah merem, ia membuka jendelanya dengan sangat
hati-hati. Terlihat sekali dia juga sangat takut akan ketahuan. Jendela kamar
Sofhy pun terbuka selebar 7CM.
“Maaf yah sayang, jendelaku hanya bisa terbuka sampe segini”. Kata Sofhy
berbisik.
“Apa? Cuman
selebar ini? tanganku pun bahkan susah meraih tanganmu dengan cela sesempit ini”
Balasku geram, tapi dengan nada berbisik.
Tapi setelah kuperhatikan. Jendela kamar Sofhy memang menggunakan jenis
jendela daun terbuka dengan cara diputar dalam sumbu horizontal.
“Yaudah gak
papa” Lanjutku.
Dengan jendela yang hanya terbuka selebar ini. Kurapatkan kepalaku
ketembok, sehingga dari pandangan Sofhy wajahku terlihat bahkan tak sampai
setengahnya.
Sofhy menggenggam tanganku.
Sofhy: ‘Maaf yah, sudah mengganggu tidur nyamanmu.’
Sofhy: ‘Maaf yah, sudah mengganggu tidur nyamanmu.’
“Terimakasih
sudah membebaskanku dari kegelisahan tidur malamku”.
Sofhy: ‘Maaf yah, sudah membuatmu keluar tengah malam dengan suhu
sedingin ini. Kamu bisa sakit.’
“Terimakasih
sudah menyembuhkanku dari kerinduan yang membara ini. Kamu tuh, yang sakit.”
Sofhy: ‘Orang aku minta maaf, malah dikasi terimakasih. Dasar kamu
kerjaannya puitis mulu. Dasar penulis ngawur sosmed.’
”Orang kamu
gak salah apa-apa juga, malah minta maaf. Kamu sih tukang khawatir. Dasar
penulis blog cerita fantasy.”
Sofhy: ‘Kamu jangan ngeledek. Sekali lagi kamu ngeledek. Aku jadiin kamu
cerita dengan judul “Tomket bermuka tapir dibalik jendela”. Eh kamu bilang aku
sih tukang khawatir? Kamu tuh sih tukang kembang gula pasar malam. Manisnya sih
kerasa, tapi suka hilang gak tau kemana. Kemarin pulang sekolah kamu dimana?’
“Yailah, aku
kan main playstation”
Sofhy: ‘Dengan siapa?’
“Kan aku udah
bilang sama teman-teman”
Sofhy: ‘Semalam berbuat apa?? Haha’
“Yailah malah
nyanyi. Ah dasar pelawak merangkap tukang sirkus. Membuatku tak bisa
kemana-mana dengan setiap pertunjukan kata yang selalu membuatku tercekam dalam
lingkaran api kasih sayang, Membuatku terombang ambing dengan lenturnya bibir
manis yang selalu tersusun makna cinta. Membuatku takjup akan permainan mimpi
yang kau sesatkan dalam hayalanku hingga aku tak bisa menemukan fantasy lain
selain sosok dirimu.”
Sofhy: ‘Biasa aja ah, dasar penggombal merangkap pelatih renang.
Membuatku hanyut akan kata-kata indah, lalu mengajakku kedasar cinta yang
begitu dalam, seakan kau pahlawan yang menyelamatkanku dari dalamnya asmara,
padahal kau yang menenggelamkanku dengan manisnya senyuman dan lepasnya tawa
yang membuatku lupa akan ada keindahan lain selain dirimu.’
“Kamu lupa
yah Fhy? Aku kan gak tau renang.”
Sofhy: ‘Aztaga.. sorry sayang. Aku lupa. Kamu taukan aku sama parahnya
dengan kronisnya sifat pelupa kamu juga. Aku tau aku sering meminta, selain meminta
maaf, aku juga sering meminta kasih putih sucimu yang selalu kau banggakan itu.’
“Iya gak
papa. Kamu gak mau tidur cepat? Siapa tau, besok pagi kamu sembuh, jadi bisa
ikutan Penjaskes. Dengan olahraga kan kamu jadi kuat, kuat untuk memberiku
setiap kenangan yang selalu kau janjikan untuk mengindahkan segalanya bersamaku.”
Sofhy: ‘Bodoh! Sejak kapan aku suka Penjaskes. Terahir kali Penjaskes
kan aku masuk UKS karena kecapean lari keliling lapangan. Dasar kamu ngeledek ah.’
“Eh, iya yah.
Tapi itu bukan ngeledek sayang. Tadinya itu pujian buat tuan putri yang
sebegitu manjanya sampe mau makan aja, mau ditemenin.”
Sofhy: ‘Bukan cuman mau ditemenin, tapi mau disuapin juga. Oh iya, bentar aku ambil makan dulu.’
Tanpa menggubris responku Sofhy beranjak mengambil makanan yang ada
dimejanya.
Ah,
bener-bener ini anak. Alasannya suka gak masuk akal cuman karena pengen
ditemenin. Tapi beneran dari tadi dia belum
makan? ahh. Kataku berceloteh sendiri.
Sofhy datang dengan membawa sepiring nasi, dan segelas air.
Aku menyuapinya dengan sedikit sulit, karena tanganku terus tergesek diantara himpitan jendela sempit ini.
Aku menyuapinya dengan sedikit sulit, karena tanganku terus tergesek diantara himpitan jendela sempit ini.
Baru makan tiga sendok. Katanya, dia sudah tidak kuat. Yaudahlah, gak papa. Yang penting isi
perutnya ada. Lagian dengan tubuh sekecil itu penampungannya gak butuh banyak
asupan. Pikirku.
Setelah makan. Dia membuka obatnya dengan 5 macam warna. Entah, itu obat
apa saja. Yang jelas, beberapa obat, bentuknya ada yang bulat, beberapa ada yang
lonjong. Setelah meminum semua obatnya, bukannya lemas atau ngantuk, dia malah
terlihat lebih semangat lagi buat lanjut ngobrol.
“Udahkan
minum obatnya. Mau langsung istirahat?" Kataku dengan lembut.
Sofhy: ‘Gak mau. Aku pengen ngobrol sampe pagi.’
“Haha, dasar
tukang cerita. Eh ngomong-ngomong kamu ingat gak, kalau kamu pernah
hujan-hujanan di pinggir bypass hanya supaya aku harus meninggalkan apa yang
aku kerjain, dan supaya aku harus nemuin kamu saat itu juga. Pernah juga kamu
nyuruh si Ihsan buat datang kerumahku untuk bangunin aku, hanya karena aku gak
angkat telpon kamu. Ingat kan? kadang aku masih tak habis pikir dengan
kelakuanmu Fhy. Sekacau itukah kau merindukanku? Sepilu itukah kau menginginkanku?
Seperti kau hanya membutuhkanku?”
Sofhy: ‘Aku belum pernah kasi tau ke kamu yah? Kamu itu udah kayak TV
buat aku. Kalau aku pengen ketawa aku mau itu karenamu, kalau aku pengen denger
berita aku pengen berita itu tentangmu, kalau aku pengen nangis aku mau cuman
kamu yang menyaksikanku. Setelah Ayahku gak ada, aku pengen kamu satu-satunya
lelaki yang memarahiku, yang menegurku, yang membuatku tumbuh dan dewasa.
Karena aku hanya bisa belajar dari apa yang kamu sadarkan, karena aku ingin
menjadi aku yang kau dambakan. Aku tau Ibu, Lina (adik Sofhy), semuanya juga tau
persis tentangku. Tapi mereka terlalu sungkan untuk menyalahkanku, terlalu baik
untuk membuatku kuat, terlalu sayang untuk ingin mengerti keburukanku lebih
dalam. Bukan aku hanya membutuhkanmu, tapi hanya kamu yang selalu kubutuhkan
dengan cara unikmu menyayangiku.’
“Mungkin kamu
benar Fhy. Aku juga hanya bisa mengerti dari teguran yang kamu sadarkan ke aku.
Setiap aku liat kamu, aku seperti ngeliat refleksi dari diriku sendiri, aku
seperti belajar dan mengerti rasanya bagaimana orang-orang hidup disekitar
kita. Masa bodoh dengan zodiak, aku bilang begini bukan karena zodiak kita
sama. Tapi aku liat ini dengan benar-benar apa adanya kamu. Kata anak-anakpun
begitu. Kepribadian kita terlalu mirip. Tapi, semoga saja itu alasan positif
kenapa kita harus ada dibawah jendela yang sama walaupun dengan ruang yang
berbeda.”
Sofhy: ‘Mulai lagi dah puitis. Tapi iya, sahabat-sahabatku juga bilang
gitu. Kita punya sifat yang sama.’
“Oh yah? Yaudah
kalau gitu, aku mau kamu kasih aku beberapa sifat negative yang aku punya. Trus
aku juga bakal bilang beberapa sifat negative yang kamu punya. Walaupun ini
sudah pernah kita bahas. Tapi kali ini,
aku mau cocokin apa bener sifat negatife yang kamu sebutin keaku itu juga ada
sama kamu.”
Sofhy: ‘Ok. Kamu itu cowok yang paling gak bisa nahan pendapat yang ada
dihati atau dipikiran. Kalau ada yang mengganjal dari pikiranmu, kamu langsung
negur itu sebagai sesuatu yang ganjal, tidak jarang kamu memprotesnya. Padahal
gak semua pendapat yang kamu utarakan itu bisa berdampak baik, kadang orang
mengartikannya dengan sinis, sehingga yang terjadi orang malah drop, bukannya termotivasi. Nah, kamu
gitu. Gimana?’
“Hmmm, iya
iya sih. Kalau dipikir-pikir aku meman gitu. Tapi kamu justru lebih terlihat sedang menceritakan diri sendiri. Benerkan
kamu juga kayak gitu?”
Sofhy: ‘hehe, iya sih. Aku bisa ngomong sekompleks gitu karena aku juga
melihatnya dari diri aku. Kalau aku gimana?’
“Ok. Kamu itu
kalau dapat teguran atau advice dari orang lain, kamu selalu membela diri, biar
kamu tidak terlihat seburuk yang orang lain pikirkan. Seakan kamu tak mau
mengerti kalau itu memang buruk, padahal kamu sendiri tidak cukup bodoh untuk menyadarinya.
Ini menandakan kamu itu selalu ingin di lihat baik dimata orang lain. Padahal
kamu sendiri hobi menasehati orang lain, tapi giliran kamu dinasehati orang
lain, kamu memilih punya penyelesaian sendiri, seakan kamu punya pemikiran yang
lebih bagus. Dan pada akhirnya bibit keegoisan itu bakal muncul. Makanya aku
selalu ingetin kamu tentang ini.”
Sofhy: ‘hehe bener banget sayang. Aku gak bakal egois untuk tidak
mengakuinya. Tapi aku yakin kamu bisa membaca sedalam itu karena kamu juga merasa kalau kamu juga kayak gitukan? Kamu justru
lebih gak suka dinasehatin tauk. Mungkin kamu itu lebih kekeras kepala.’
“Hehe, iya,
iya. Eh eh Fhy, aku pengen sedikit serius ngomong kekamu. Coba deh, kita realistis
dulu. Kamu taukan segala sesuatu yang berlebihan itu gak baik? Cinta pun
begitu, tak baik berlebihan. Kamu suka mengorbankan hal-hal tak logis hanya
untuk dekat denganku, aku suka melakukan hal-hal gila hanya untuk membuatmu
tersenyum, tertawa, bahagia. Kita saling berpegangan tangan dengan erat seakan
kita gak tau kalau dalam agama kita ini kekhilafan. Kita saling berdekap dengan begitu kuat seakan
kita gak tau kalau tuhan marah melihat ini. Kita terlalu banyak belajar satu
sama lain, tapi kita menolak mengerti bahwa ~segala hubungan tak ada yang
abadi~”
Sofhy hanya terdiam.
“Fhy, coba kau pikirkan!”
Sofhy: ‘aku belum kepikiran sampai sana.’
“Coba kau
renungkan!”
Sofhy: ‘Aku belum siap merenungkannnya.’
“Hanya
bintang-bintang hanya kaulah yang kusayang.”
Sofhy: ‘Aztagaa bodooohhh. Malah nyanyi. Tadi bilangnya serius.’
“Haha, kamu
kan yang tadi mulai.”
Sofhy: ‘Lama-lama setiap aku rindu kamu, yang aku rasakan bukan “kangen”.
Tapi “kangen” yang belakangnya ditambahi “band”.’
“Haha, kangen
band dong.”
Malam itu percakapan paling menakjubkan menurutku. Kalimat-kalimat manis
yang selalu melekat dibenakku. Tanya jawab mesrah yang berisikan ledekan usil
yang begitu asik. Malam itu kami terus saja bercanda, berfantasy, berhayal, berdebat, bahkan bersitegang,
semuanya menjadi penanda kisah kasihku bahwa malam itu adalah salah satu malam
indahku.
Dari jendela itu, aku melihat kekasih yang kucintai, aku memberi kasih
pada yang kukasihi, dan aku mendapat kisah tentang bagaimana sejatinya kasih
itu.
Harus kuakui, Sofhy adalah wanita satu-satunya yang membuatku sangat
senang mengobrol dengannya, satu-satunya wanita yang pernah kutemui dengan
selera humor yang tinggi, satu-satunya wanita yang kudapatkan sangat asik
bercanda bahkan berfantasy dengannya. Satu-satunya wanita yang membuatku selalu
khilaf untuk menggenggam tangan kecilnya dengan sangat erat.
Dari “kasih dibalik jendela” itu aku belajar, bahwa hanya ada satu cara
dari suatu hubungan yang akan kita nikmati hingga masa tua tiba.
Satu-satunya cara yang dapat kita lakukan untuk menikmati suatu hubungan
ketika kita tak mampu untuk berbuat apa-apa lagi. Yaitu mengobrol sambil
berpegang tangan satu sama lain. Bercengkrama dan bercanda. Berfantasy dan
bernostalgia masa-masa muda. Mungkin itulah alasan kenapa aku sangat suka
dengan wanita yang enak diajak ngobrol, selera humor yang tinggi, dan asik
diajak bercanda. Karena hanya itu caraku untuk tetap mengindahkan hubungan
hingga ahir hayatku.
Akan tiba suatu masa dimana kita akan mencapai hari tua bersama kekasih (insyaallah).
Akan tiba suatu masa, dimana kita tidak dapat lagi bersolek di tempat keramaian dan perbelanjaan, berkelana ketempat-tempat wisata dan tempat pegunungan, mencari hiburan kewahana maupun tempat satwa.
Akan tiba suatu masa dimana kita tak dapat lagi, bercanda sambil
bergendongan, berlari sambil bertarik tangan, bahkan melakukan hal-hal kecil
untuk memanjakan sang pasangan.
Akan tiba suatu masa dimana lingkar pergaulan kita semakin lama semakin
sempit, hingga hanya ada satu orang yang akan kita temui setiap saatnya. Hanya
ada satu orang yang membuat kita terus percaya bahwa hubungan seperti ini masih
bisa disebut lebih dari indah.
Aku selalu memimpikan hari tuaku. Hari dimana aku akan dipanggil kakek.
Kakek yang sedang berpegangan tangan dengan seorang nenek sambil tertawa
bahagia dengan gigi palsu dan rambut putihnya. Sambil mengenang masa-masa indah saat muda dulu,
sambil mengobrolkan hal-hal lucu dari pergaulan kakek-nenek.
Mungkin hingga hari itu akan tiba, aku masih akan percaya, bahwa “Cinta Sejati”
itu tumbuh, bukan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar