Setiap saya berbicara di depan umum di
beberapa organisasi, ketika saya menanyakan, “Apakah teman teman setuju dengan
kalimat motivasi ini: Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak?” Semuanya
dengan serentak akan menjawab “Setuju”.
Kata kata ini sering sekali kita dengar
di bangku sekolah. Saya bahkan selalu mendapatkannya dari banyak guru yang kata
mereka, “Itu adalah motivation sentences”.
Terakhir saya mendengar kalimat ini,
dari kuliah kemarin (sekitar bulan oktober lalu) oleh dosen saya yang sudah
dianggap guru besar di fakultas. Eh pagi tadi saya buka tumblr, teman saya:
@pecahanhati baru saja ternyata membahasnya juga. Yasudah, ada baiknya juga
kalau sekali kali tidak menulis tentang cinta melulu. Jadi biarkan kali ini
saya sok sokan berbicara tentang suatu masalah yang cukup serius di Negeri kita
ini.
Dan di sini saya mau bilang, bahwa saya
tidak pernah setuju dengan kalimat ini, “Kalau orang lain bisa, kenapa kamu
tidak?”. Sejak pertama kali saya mendengarnya.
Saya selalu merasa paling buruk ketika
dilemparkan kalimat seperti itu, sejak SD, SMP, SMA, sampai pada akhirnya saya
muak mendengarnya, dan menjelaskan semuanya di bangku kelas tiga SMA. Sekitar,
3 tahun lalu.
Waktu itu pengumuman nilai ujian kimia.
Tapi yang disebut sama Bapak Guru hanya dua nama. Pertama siswa dengan nilai
ujian tertinggi, kedua siswa dengan nilai ujian terendah. Iya, kau pasti sudah
tau saya ada di kategori mana. Benar sekali, nama yang disebut oleh Guru dengan
nilai terendah adalah nama saya.
Lalu di depan kelas, dan di depan teman
teman dia bilang, “Masa ahdar bisa (siswa dengan nilai tertinggi), kamu tidak?
Sama sama makan nasi juga kan?”
Seketika saya langsung berdiri, dari
bangku. “Boleh saya menceritakan, dan menjelaskan sesuatu, pak?”
Ok, saya lanjut karena dipersilahkan.
“Suatu hari, saya bertemu dengan seekor
kambing. Lalu saya bertanya pada kambing itu, “hai kambing, kenapa kamu tak
bisa berlari kencang sambil menunggangi gerobak berpenumpangkan banyak manusia
seperti layaknya seekor kuda? Bukannya kalian sama sama hewan herbivora? Masa
si kuda bisa, kamu tidak? Sama sama makan rumput juga kan?”.“
“Pak, saya ini dekat dengan guru BK.
Kebetulan saya sekertaris di organisasi yang dibimbingnya. Saya juga dekat
dengan seorang uztad, kebetulan tetangga saya. Saya bahkan punya seorang paman
yang berprofesi sebagai dokter. Dan mereka semua mengatakan hal yang sama,
bahwa setiap orang dianugerahi kelebihan yang berbeda beda. Jadi sesuatu yang
orang lain bisai, belum tentu kita bisa. Pun sesuatu yang kita bisai, belum
tentu orang lain bisa. Kenapa? Karena kita, selain diberikan kelebihan, juga
dititipkan kekurangan.”
“Kalau misalnya semua orang kemampuannya
sama saja. Takkan ada keseimbangan dalam hidup. Contoh semua orang ahli di
bidang kedokteran. Lalu yang buat rumah sakitnya siapa? Yang bikin alat alatnya
siapa? Yang menjahit baju dokternya siapa? Yang jadi pasiennya siapa?”
“Albert Einstein, pernah bilang, “semua
orang itu jenius. Cuman ketika kita menilai seekor ikan dari cara ia memanjat,
ikan itu akan terlihat bodoh seumur hidupnya.” Ketika kita menilai seekor
monyet dari cara ia berenang, monyet itu akan merasa mahluk tergoblok seumur
hidupnya. Dan bahkan ketika kita menilai seorang guru bahasa indonesia dari
cara ia mengerjakan soal matematika, fisika, atau kimia, guru itu tidak akan
merasa guru diantara murid murid sekalipun.“
“Saya selalu mengagumi, dan menganggap
hebat Bapak. Kenapa? Karena saya menilai bapak dari cara bapak menganalisa,
menghitung, dan memecahkan kasus kasus soal perhitungan, khususnya soal soal
kimia. Maka nilailah seseorang sesuai dengan kelebihannya”
“Saya selalu percaya, pak. Kalau ada
seorang siswa, yang terlihat bodoh dihadapan gurunya. Anak itu bukan bodoh,
tapi mungkin karena guru yang ia dapati tidak sesuai dengan minat, dan
kemampuannya. Kalau ada seekor tapir, mendapati guru sehebat singa sang raja
hutan sekali pun. Tapir itu tetap tak bakalan bisa mengaung. Jadi bukan masalah
siswa yang bodoh, atau guru yang hebat. Tapi masalah kemampuan siswa yang tidak
sesuai dengan keahlian guru.”
“Saya jujur pak, mungkin di bidang
hitung menghitung saya sangat goblok. Karena dari zigot saya memang tidak
pernah suka dengan perhitungan. Tapi coba di bidang lain. Bodoh juga. Tidak
tidak becanda, di bidang lain pasti ada kemampuan saya.”
Jadi menurut saya, kalimat “kalau orang
lain bisa, kenapa kamu tidak” adalah kalimat yang hanya membatasi kreativitasan
seseorang untuk melakukan hal lebih di bidang yang ia sukai. Padahal potensi
otak akan maksimum digunakan ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai,
yang bisa dibilang belajar dengan ikhlas, tanpa tekanan apa apa.
Kalimat ini juga membuat seseorang takut
untuk menjadi berbeda. Di indonesia kita takut sekali untuk berbeda. Kenapa?
Karena dari kecil kita diajarkan bahwa beda itu artinya tidak patuh, tidak
patuh itu artinya salah, dan salah itu artinya bodoh.
Sekarang apa kau masih setuju dengan kalimat di atas? Kalau sudah tidak setuju. Silahkan, lanjut baca. Karena kita sudah sepaham. :)
Nah, mungkin karena masalah tak bisa berbeda itulah yang mengganjal pikiran
saya tentang Ujian Nasional. Ketika setiap anak memiliki keahlian di bidang yang berbeda beda, kemampuan setiap siswa di mata pelajaran berbeda beda. Tapi ketika ingin lulus, harus
diratakan semuanya dengan mengujian nasionalkan beberapa mata pelajaran saja, yang
menurut saya tidak akan bisa mewakili evaluasi akademik untuk menentukan apakah
anak yang lulus adalah anak yang cerdas atau berbakat? Dan anak yang tidak
lulus adalah anak yang bodoh, atau tak punya bakat?
Banyak kok pemuda pemudi indonesia yang
mengibarkan bendera merah putih di mata dunia, walaupun mata pelajaran
kesukaannya tidak di ujian nasionalkan. Susi Susanti peraih gelar Dunia
Badminton Grand Prix berturut-turut lima kali. Ada tidak ujian nasional
penjaskes(Eh pelajaran ini sekarang namanya masih itu kan)?. Sandhy sandoro
pemenang kontes menyanyi New Wave 2009 di Latvia. Ada tidak ujian nasional
kesenian? Tidak ada? Jadi kenapa beberapa mata pelajaran diambil sebagai
penentu kelulusan, yang belum tentu menunjang keberhasilan di masa depan?
Jangan sampai ada seseorang yang kesuksesannya terhambat hanya karena semua
mata pelajaran yang di ujian nasionalkan adalah mata pelajaran yang tak ia
sukai, padahal ia punya bakat di bidang lain.
Saya setuju dengan kata Deddy Corbuzier,
bahwa sekolah itu tidak akan menentukan kesuksesan kita di dunia profesi nanti.
Sepintar apapun kita di sekolah, tidak
akan jadi jaminan untuk memenangkan kita bersaing melawan orang paling bodoh
waktu sekolah dulu di dunia kerja nanti.
Saya kasi bukti. Saya punya teman
namanya Fadli, peringkat terakhir di kelas saya waktu SMA dulu. Mulai dari
kelas satu sampai kelas tiga, dia rangking paling bawah terus (karena selalu
saya ajak dia main PS di jam sekolah). Tapi dia pengen jadi polisi. Mungkin dia
malas sekolah karena memang tidak ada guru yang mengajarkan ilmu kepolisian.
Mungkin saja, saya tidak tau.
Akhirnya beberapa bulan sebelum
pengumuman kelulusan, dia bahkan langsung mendaftar polisi. Bayangkan gobloknya
dia, belum dapat ijazah sudah ngeluarin duit buat daftar polisi. Padahal belum
tentu lulus SMA.
Di hari kelulusan, dia tidak datang. Dia
sibuk ngejalanin tes dan sebagainya di kepolisian. Tapi dia beruntung
dinyatakan lulus sekolah. Kemudian di hari keluarnya ijazah, saya sudah
mendengar kabar bahwa dia sudah diterima menjadi polisi, dan mulai mengikuti
pendidikan wajibnya.
Lalu saya punya satu teman lagi.
Perempuan paling cerdas, dan paling tekun di kelas saya. Dari kelas satu sampai
kelas tiga, dia selalu rangking paling atas. Bahkan terhitung juara umum, sebab
kelas saya adalah kelas unggulan namanya waktu itu. Dia juga ternyata pengen
masuk kepolisian, tapi mungkin karena alasan terlambat, jadi dia mengundur
pendaftarar dirinya di tahun depan.
Tahun pertama setelah lulus SMA dia
menjadi mahasiswi di sebuah universitas. Saking cerdasnya dia, dua semester
IPKnya nyaris A semua. Tapi setelah itu, karena memang dia ingin masuk di
kepolisian. Akhirnya tahun kedua setelah kelulusan SMA, dia berhenti kuliah,
dan mendaftar masuk kepolisian. Alhamdulillah dia dinyatakan lolos.
Lihat sekarang ini, yaitu sudah tahun
ketiga kita ketika berpisah dengan teman teman SMA. Saya lihat di group chat,
si cewek tadi, tiap manggil Fadli, dia memanggilnya dengan sebutan SENIOR. Padahal waktu SMA dia sering
dibilangin slengean sama si cewek tadi.
Jadi apakah kecerdasan kita di sekolah
menjamin kita untuk lebih dulu sukses dibanding orang yang biasa biasa saja,
atau bahkan paling bodoh dulu waktu sekolah?
Ah, capek ah nulis. Ini ditulis di hape
tau. Jadi jawab sendiri saja.
*salam hangatku untuk orang orang di
masa sekolahmu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar