Sabtu, 23 Januari 2016

Setujukah kau dengan, “Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak?”


Setiap saya berbicara di depan umum di beberapa organisasi, ketika saya menanyakan, “Apakah teman teman setuju dengan kalimat motivasi ini: Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak?” Semuanya dengan serentak akan menjawab “Setuju”.

Kata kata ini sering sekali kita dengar di bangku sekolah. Saya bahkan selalu mendapatkannya dari banyak guru yang kata mereka, “Itu adalah motivation sentences”.

Terakhir saya mendengar kalimat ini, dari kuliah kemarin (sekitar bulan oktober lalu) oleh dosen saya yang sudah dianggap guru besar di fakultas. Eh pagi tadi saya buka tumblr, teman saya: @pecahanhati baru saja ternyata membahasnya juga. Yasudah, ada baiknya juga kalau sekali kali tidak menulis tentang cinta melulu. Jadi biarkan kali ini saya sok sokan berbicara tentang suatu masalah yang cukup serius di Negeri kita ini.

Dan di sini saya mau bilang, bahwa saya tidak pernah setuju dengan kalimat ini, “Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak?”. Sejak pertama kali saya mendengarnya.

Saya selalu merasa paling buruk ketika dilemparkan kalimat seperti itu, sejak SD, SMP, SMA, sampai pada akhirnya saya muak mendengarnya, dan menjelaskan semuanya di bangku kelas tiga SMA. Sekitar, 3 tahun lalu.
 
Waktu itu pengumuman nilai ujian kimia. Tapi yang disebut sama Bapak Guru hanya dua nama. Pertama siswa dengan nilai ujian tertinggi, kedua siswa dengan nilai ujian terendah. Iya, kau pasti sudah tau saya ada di kategori mana. Benar sekali, nama yang disebut oleh Guru dengan nilai terendah adalah nama saya.

Lalu di depan kelas, dan di depan teman teman dia bilang, “Masa ahdar bisa (siswa dengan nilai tertinggi), kamu tidak? Sama sama makan nasi juga kan?”

Seketika saya langsung berdiri, dari bangku. “Boleh saya menceritakan, dan menjelaskan sesuatu, pak?”
Ok, saya lanjut karena dipersilahkan.

“Suatu hari, saya bertemu dengan seekor kambing. Lalu saya bertanya pada kambing itu, “hai kambing, kenapa kamu tak bisa berlari kencang sambil menunggangi gerobak berpenumpangkan banyak manusia seperti layaknya seekor kuda? Bukannya kalian sama sama hewan herbivora? Masa si kuda bisa, kamu tidak? Sama sama makan rumput juga kan?”.“

“Pak, saya ini dekat dengan guru BK. Kebetulan saya sekertaris di organisasi yang dibimbingnya. Saya juga dekat dengan seorang uztad, kebetulan tetangga saya. Saya bahkan punya seorang paman yang berprofesi sebagai dokter. Dan mereka semua mengatakan hal yang sama, bahwa setiap orang dianugerahi kelebihan yang berbeda beda. Jadi sesuatu yang orang lain bisai, belum tentu kita bisa. Pun sesuatu yang kita bisai, belum tentu orang lain bisa. Kenapa? Karena kita, selain diberikan kelebihan, juga dititipkan kekurangan.”

“Kalau misalnya semua orang kemampuannya sama saja. Takkan ada keseimbangan dalam hidup. Contoh semua orang ahli di bidang kedokteran. Lalu yang buat rumah sakitnya siapa? Yang bikin alat alatnya siapa? Yang menjahit baju dokternya siapa? Yang jadi pasiennya siapa?”

“Albert Einstein, pernah bilang, “semua orang itu jenius. Cuman ketika kita menilai seekor ikan dari cara ia memanjat, ikan itu akan terlihat bodoh seumur hidupnya.” Ketika kita menilai seekor monyet dari cara ia berenang, monyet itu akan merasa mahluk tergoblok seumur hidupnya. Dan bahkan ketika kita menilai seorang guru bahasa indonesia dari cara ia mengerjakan soal matematika, fisika, atau kimia, guru itu tidak akan merasa guru diantara murid murid sekalipun.“

“Saya selalu mengagumi, dan menganggap hebat Bapak. Kenapa? Karena saya menilai bapak dari cara bapak menganalisa, menghitung, dan memecahkan kasus kasus soal perhitungan, khususnya soal soal kimia. Maka nilailah seseorang sesuai dengan kelebihannya”

“Saya selalu percaya, pak. Kalau ada seorang siswa, yang terlihat bodoh dihadapan gurunya. Anak itu bukan bodoh, tapi mungkin karena guru yang ia dapati tidak sesuai dengan minat, dan kemampuannya. Kalau ada seekor tapir, mendapati guru sehebat singa sang raja hutan sekali pun. Tapir itu tetap tak bakalan bisa mengaung. Jadi bukan masalah siswa yang bodoh, atau guru yang hebat. Tapi masalah kemampuan siswa yang tidak sesuai dengan keahlian guru.”

“Saya jujur pak, mungkin di bidang hitung menghitung saya sangat goblok. Karena dari zigot saya memang tidak pernah suka dengan perhitungan. Tapi coba di bidang lain. Bodoh juga. Tidak tidak becanda, di bidang lain pasti ada kemampuan saya.”

Jadi menurut saya, kalimat “kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak” adalah kalimat yang hanya membatasi kreativitasan seseorang untuk melakukan hal lebih di bidang yang ia sukai. Padahal potensi otak akan maksimum digunakan ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai, yang bisa dibilang belajar dengan ikhlas, tanpa tekanan apa apa.

Kalimat ini juga membuat seseorang takut untuk menjadi berbeda. Di indonesia kita takut sekali untuk berbeda. Kenapa? Karena dari kecil kita diajarkan bahwa beda itu artinya tidak patuh, tidak patuh itu artinya salah, dan salah itu artinya bodoh.

Sekarang apa kau masih setuju dengan kalimat di atas? Kalau sudah tidak setuju. Silahkan, lanjut baca. Karena kita  sudah sepaham. :)

Nah, mungkin karena masalah tak bisa berbeda itulah yang mengganjal pikiran saya tentang Ujian Nasional. Ketika setiap anak memiliki keahlian di bidang yang berbeda beda, kemampuan setiap siswa di mata pelajaran berbeda beda. Tapi ketika ingin lulus, harus diratakan semuanya dengan mengujian nasionalkan beberapa mata pelajaran saja, yang menurut saya tidak akan bisa mewakili evaluasi akademik untuk menentukan apakah anak yang lulus adalah anak yang cerdas atau berbakat? Dan anak yang tidak lulus adalah anak yang bodoh, atau tak punya bakat?
Banyak kok pemuda pemudi indonesia yang mengibarkan bendera merah putih di mata dunia, walaupun mata pelajaran kesukaannya tidak di ujian nasionalkan. Susi Susanti peraih gelar Dunia Badminton Grand Prix berturut-turut lima kali. Ada tidak ujian nasional penjaskes(Eh pelajaran ini sekarang namanya masih itu kan)?. Sandhy sandoro pemenang kontes menyanyi New Wave 2009 di Latvia. Ada tidak ujian nasional kesenian? Tidak ada? Jadi kenapa beberapa mata pelajaran diambil sebagai penentu kelulusan, yang belum tentu menunjang keberhasilan di masa depan? Jangan sampai ada seseorang yang kesuksesannya terhambat hanya karena semua mata pelajaran yang di ujian nasionalkan adalah mata pelajaran yang tak ia sukai, padahal ia punya bakat di bidang lain.

Saya setuju dengan kata Deddy Corbuzier, bahwa sekolah itu tidak akan menentukan kesuksesan kita di dunia profesi nanti.

Sepintar apapun kita di sekolah, tidak akan jadi jaminan untuk memenangkan kita bersaing melawan orang paling bodoh waktu sekolah dulu di dunia kerja nanti.

Saya kasi bukti. Saya punya teman namanya Fadli, peringkat terakhir di kelas saya waktu SMA dulu. Mulai dari kelas satu sampai kelas tiga, dia rangking paling bawah terus (karena selalu saya ajak dia main PS di jam sekolah). Tapi dia pengen jadi polisi. Mungkin dia malas sekolah karena memang tidak ada guru yang mengajarkan ilmu kepolisian. Mungkin saja, saya tidak tau.

Akhirnya beberapa bulan sebelum pengumuman kelulusan, dia bahkan langsung mendaftar polisi. Bayangkan gobloknya dia, belum dapat ijazah sudah ngeluarin duit buat daftar polisi. Padahal belum tentu lulus SMA.

Di hari kelulusan, dia tidak datang. Dia sibuk ngejalanin tes dan sebagainya di kepolisian. Tapi dia beruntung dinyatakan lulus sekolah. Kemudian di hari keluarnya ijazah, saya sudah mendengar kabar bahwa dia sudah diterima menjadi polisi, dan mulai mengikuti pendidikan wajibnya.

Lalu saya punya satu teman lagi. Perempuan paling cerdas, dan paling tekun di kelas saya. Dari kelas satu sampai kelas tiga, dia selalu rangking paling atas. Bahkan terhitung juara umum, sebab kelas saya adalah kelas unggulan namanya waktu itu. Dia juga ternyata pengen masuk kepolisian, tapi mungkin karena alasan terlambat, jadi dia mengundur pendaftarar dirinya di tahun depan.

Tahun pertama setelah lulus SMA dia menjadi mahasiswi di sebuah universitas. Saking cerdasnya dia, dua semester IPKnya nyaris A semua. Tapi setelah itu, karena memang dia ingin masuk di kepolisian. Akhirnya tahun kedua setelah kelulusan SMA, dia berhenti kuliah, dan mendaftar masuk kepolisian. Alhamdulillah dia dinyatakan lolos.
Lihat sekarang ini, yaitu sudah tahun ketiga kita ketika berpisah dengan teman teman SMA. Saya lihat di group chat, si cewek tadi, tiap manggil Fadli, dia memanggilnya dengan sebutan SENIOR. Padahal waktu SMA dia sering dibilangin slengean sama si cewek tadi.

Jadi apakah kecerdasan kita di sekolah menjamin kita untuk lebih dulu sukses dibanding orang yang biasa biasa saja, atau bahkan paling bodoh dulu waktu sekolah?

Ah, capek ah nulis. Ini ditulis di hape tau. Jadi jawab sendiri saja.


*salam hangatku untuk orang orang di masa sekolahmu. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar